Sultan Adam Al-Watsiq Billah dan Sejarah Penerapan Islam di Tanah Banjar

Sultan Adam Al-Watsiq Billah dan Sejarah Penerapan Islam di Tanah Banjar

Oleh : Zulfa Jamalie
Al Jami.
Jurnal Ilmiah Keagamaan , Pendidikan, dan Dakwah
Volume 8, Nomor 15, Januari – Juni 2012

Abstrak:

Sebagaimana Aceh, Kesultanan Banjar dalam catatan sejarah merupakan salah satu daerah yang secara hukum pernah menerapkan hukum Islam untuk mengatur kehidupan masyarakatnya, terutama di masa pemerintahan Sultan Adam al Watsiq Billah (1825-1857 M) bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah. Karena itu, undang-undang dimaksud kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). Secara singkat UUSA berisikan beberapa pasal penting yang menjelaskan tata aturan dan permasalahan kehidupan sehari-hari yang dihadapi oleh masyarakat Banjar, misalnya permasalahan pelaksanaan ajaran Islam, hukum tata pemerintahan, hak tentang pertanahan, ikatan perkawinan, kehidupan berkeluarga, dan seterusnya. Karena itu, UUSA tersebut merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari kejayaan sejarah Islam Banjar. Siapakah Sultan Adam? Bagaimana isi dari UUSA tersebut? Paling tidak, inilah dua hal penting yang dipaparkan dalam tulisan berikut.

Kata-kata kunci:

Syariat Islam, Undang-Undang Sultan Adam (UUSA), Sultan Adam, Kerajaan Islam Banjar.

A. Pendahuluan

          Selama lebih kurang 25 tahun masyarakat Banjar pernah hidup di bawah naungan syariat Islam, yakni ketika masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah (1825-1857 M) menetapkan berlakunya hukum Islam di seluruh wilayah kerajaan Banjar yang kemudian dinamakan dengan Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). UUSA ditetapkan pada tahun 1835, dan kemudian dihapuskan secara sepihak oleh pemerintah Belanda pada tanggal 11 Juni 1860 M seiring dengan proklamasi dihapuskannya kerajaan Islam Banjar.

Dalam salah satu pasalnya yang sangat populer dan kemudian menjadi rujukan penting dalam menganalisis perkembangan Islam di masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah yang ditandai dengan mesranya hubungan antara ulama dan penguasa adalah pasal yang menyatakan bahwa: Janganlah kamu sekalian menyalahi pitua Mufti Haji Jamaluddin dan kalau ada orang yang menyimpang supaya dicegah atau melaporkannya kepada Sultan (Pasal 31 UU Sultan Adam).

B. Sultan Adam al-Watsiq Billah (1785-1857 M)

          Sultan Adam adalah putra dari Sultan Sulaiman al-Mutamidillah bin Sultan Tahmidillah bin Sultan Tamjidillah, ibunya bernama Nyai Intan Sari. Ia dilahirkan di Karang Intan (Martapura) pada tahun 1785 M, di mana pada waktu itu yang memerintah Kesultanan Banjar adalah kakeknya, Sultan Tahmidillah bin Sultan Tamjidillah bergelar Susuhunan Nata Alam (1761-1801 M).

          Dalam catatan sejarah, kakeknya (Sultan Tahmidillah) inilah yang meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) untuk menulis sebuah kitab fikih yang bisa dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat Islam Banjar dalam menjalankan ajaran agama dan peribadahan mereka sehari-hari. Oleh Syekh Muhammad Arsyad kemudian, permintaan sultan ini disambut baik dengan disusunnya kitab Sabil al-Muhtadin. Hal ini dapat kita baca dari ungkapan Syekh Muhammad Arsyad sendiri dalam mukaddimah kitab Sabil al-Muhtadin.

“Pada tahun 1193 Hijriyah Nabi, telah meminta kepadaku penguasa negeri yang dianugerahkan Tuhannya, dan rahmat Allah yang banyak selalu melimpah kepadanya, seorang raja yang tinggi cita-citanya, yang cerdas, pandai, berbicara dengan petah, mempunyai pikiran yang bersih dan pengetahuan yang dalam, ialah yang menguasai negeri Banjar, yang selalu berusaha dan ikutan yang mulia Maulana Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya dan kekal kerajaan pada keturunannya, senantiasa kejayaan kerajaan dan keturunannya, semoga amal kebajikan dan kemurahannya menghimpun rakyatnya”.

          Sehingga, sangat tepat apabila kemudian oleh Yayasan Karyawan Malaysia (2005), kitab Sabil al-Muhtadin dikategorikan sebagai salah satu ‘Karya Tulis Agung’ ulama Melayu, yakni karya tulis yang berjaya meninggalkan kesan seni, budaya, dan pemikiran yang luar biasa dalam tamadun atau tradisi sesuatu bangsa. Karya itu dianggap sebagai warisan bangsa karena mewakili pemikiran dan pengalaman kolektif bangsa itu sepanjang zaman sebagaimana yang dipancarkan kepercayaan, falsafah hidup, tradisi, konsep ilmu, adat bahasa, seni, pekerti budaya dan sosial yang membentuk citra atau identitas ketamadunan bangsa itu. Dalam bahasa Hassan Ahmad (2005), Karya Tulis Agung dimaksud didefinisikan sebagai karya yang tertulis dalam bahasa Melayu atau yang diungkapkan atau dilisankan dalam bahasa Melayu, tidak kira di manakah daerah asalnya di Dunia Melayu ini; dan yang mampu mencetuskan, dalam bentuk dan gaya yang luar biasa, unsur-unsur pemikiran, sistem nilai dan kepercayaan, falsafah atau pandangan hidup bangsa Melayu turun-temurun. Pendek kata Karya Agung Melayu merupakan warisan budaya susastera bangsa Melayu. Sedangkan menurut Siddiq Fadzil (2005), suatu karya tulis cendikiawan Melayu dapat dikategorikan sebagai Karya Tulis Agung, apabila memiliki pengaruh yang kuat dan merakyat serta membentuk cara hidup umat Islam Melayu.

          Kitab Sabil al-Muhtadin ini ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad mulai pada tahun 1779 M dan selesai pada tahun 1780 M, dicetak untuk pertama kalinya di Istambul (Turki). Kitab ini terdiri dari dua jilid, jilid I terdiri dari 252 halaman dan jilid II terdiri dari 272 halaman. Kitab rujukannya sebanyak 31 buah. Kitab ini hanya berbicara fikih ibadah, yang dimulai dari thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji. Pada jilid II dilengkapi dengan pembicaraan tentang akikah, penyembelihan hewan kurban, makanan yang halal dan haram, binatang sembelihan, binatang yang halal dan haram.

          Masalah yang menonjol yang tercantum pada jilid I yang erat dengan kondisi Kalimantan ada empat masalah, yakni permasalahan yang berhubungan dengan kebiasaan memakan anak wanyi, konsep jamban terapung di sungai dan buang hajat, hukum membaca Alquran dengan suara yang nyaring sedang di sekitar pembacanya ada orang yang sedang tidur, dan penentuan arah kiblat.

          Pada jilid II ada sembilan masalah: hukum sembahyang berjamaah, hukum sembahyang di belakang penganut aliran wujudiah, haram membikin kubah di atas kuburan yang tanahnya adalah tanah wakaf, makruh lagi bidah menyajikan makanan kepada para pelayat, baik sebelum maupun sesudah mengubur, wajib mengubur mempergunakan tabela (peti mati), nisab emas yang bercampur dengan perak, zakat investasi, hukum haji dan umrah, halal dan haram binatang khas Kalimantan (Asywadie Syukur, 2003).

          Sultan Adam mempunyai 5 orang saudara seibu dan sebapak, yakni Pangeran Mangkubumi Nata, Ratu Haji Musa, Pangeran Perbatasari, Pangeran Hasir, dan Pangeran Sungging Anum. Sedangkan saudaranya yang sebapak berjumlah 13 orang, karena itu secara keseluruhan ia memiliki 18 orang saudara.

          Sebagai seorang putra sultan (pangeran), sebagaimana kebiasaanberlaku, Sultan Adam hidup dan dididik dalam lingkungan istana. Di mana  pada masa mudanya Sultan Adam sudah dikenal sebagai seorang yang rajin dan pandai. Ia banyak belajar dan menimba ilmu agama kepada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang pada waktu itu merupakan penasihat kerajaan, penasihat Sultan Tahmidillah bin Sultan Tamjidillah hingga terus pada masa Sultan Sulaiman bin Sultan Tahmidillah (1801-1825 M). Berkat didikan dari Syekh Muhammad Arsyad inilah kelak kemudian Sultan Adam dikenal sebagai Sultan Banjar yang alim, dekat dengan ulama, dan memperjuangkan kejayaan Islam untuk kehidupan masyarakatnya. Perjuangan Sultan Adam ini mencapai puncaknya ketika ia menetapkan berlakunya syariat Islam di seluruh wilayah kerajaan Banjar, untuk mengatur kehidupan keagamaan, sosial kemasyarakatan, dan kenegaraan negeri Banjar agar lebih baik dan menjunjung tinggi ajaran Islam.

          Ketika Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari wafat, umur Sultan Adam baru 27 tahun. Sehingga kemudian ia pun meneruskan pelajaran agamanya kepada Mufti Haji Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad yang ketika itu diangkat menjabat mufti Kerajaan Banjar.

          Pada umur 25 tahun, Sultan Adam dikawinkan dengan Nyai Ratu Kumala Sari, dan dari perkawinannya ini dia memperoleh 7 orang anak, yakni Ratu Serip Husin Darmakesuma, Ratu Serip Kesuma Negara, Ratu Serip Abdullah Nata Kesuma, Pangeran Asmail, Pangeran Nuh Ratu Anum Mangkubumi, dan Pangeran Prabu Anum.

Kemudian Sultan Adam kawin lagi dengan beberapa orang wanita yang lain, dan masing-masing dari istrinya ini ia pun juga memperoleh beberapa orang putra lagi, sehingga keseluruhan putra Sultan Adam berjumlah 11 orang.

  • Dari istrinya yang bernama Nyai Endah mendapatkan anak bernama Pangeran Mataram
  • Dari istrinya yang bernama Nyai Peah mendapatkan anak bernama Ratu Jantera Kesuma
  • Dari istrinya yang bernama Nyai Peles mendapatkan anak bernama Pangeran Nasruddin
  • Dari istrinya yang bernama Nyai Salamah mendapatkan anak bernama Ratu Ijah.

          Sultan Adam adalah seorang yang cerdas, sehingga dalam usia yang relatif muda ia sudah sering diikutsertakan oleh ayahnya Sultan Sulaiman Saidullah dalam urusan-urusan kenegaraan, seperti keterlibatannya dalam perjanjian yang diadakan oleh Sultan Sulaiman dengan kompeni Belanda pada tanggal 12 Desember 1806, 1 Oktober 1812, dan 1 Januari 1817 M, di mana Sultan Adam ikut menandatangani surat perjanjian dimaksud (Abdurrahman, 2001).

          Keterlibatan Sultan Adam dalam urusan-urusan penting kenegaraan menjadi pelajaran dan pengalaman berharga baginya. Sehingga dengan pengalaman itu ia secara praktik dan teori dia telah mengerti banyak bagaimana mengatur urusan-urusan yang berhubungan dengan kenegaraan. Bekal inilah yang kemudian menjadikannya sebagai Sultan Banjar yang pandai dalam mengatur negara.

Di masa Sultan Adam, dalam susunan pemerintahan Kesultanan Banjar ada beberapa jabatan penting lainnya yang berfungsi dan bertugas untuk membantu sultan dalam mengelola urusan negara dan masyarakat, mereka terdiri dari:

  • Mufti, hakim yang tertinggi, pengawas pengadilan umum
  • Pengulu, hakim yang kebanyakan, mendapat piagam (cap) dari panambahan
  • Lalawangan, kepala di dalam sebuah daerah
  • Lurah, pembantu langsung Lalawangan dan bertugas untuk mengawasi pekerjaan beberapa orang Pembekal atau kepala kampung. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Lurah dibantu oleh Khalifah, Bilal, dan Kaum
  • Pembekal, pangkat kehormatan untuk orang-orang yang terkemuka dan berjasa. Di antaranya juga yang jadi kepala dalam sebuah daerah mempunyai kekuasaan sama dengan Lalawangan
  • Tatuha Kampung, orang yang terkemuka di dalam kampung, karena dapat penghargaan dari anak buah di kampung
  • Panawakan, orang-orang yang menjadi suruhan raja atau kepala-kepala, dibebaskan dari segala pekerjaan negeri dan dari segala pembayaran pajak.

          Di samping itu secara umum dalam mengatur pemerintahan dan urusan kenegaraan, baik berkenaan dengan pelaksanaan undang-undang, hukum adat, maupun peraturan yang lainnya, sultan juga dibantu oleh kadang raja, para pangeran, para gusti, para raden, kiai demang, nanang-nanang, yang berkedudukan sebagai pembantu kehormatan atau sebagai penyelenggara tetap dalam suatu urusan pemerintahan, misalnya urusan keprajuritan, perguruan, pemungutan cukai pajak, urusan sosial, perusahaan di laut, sungai, kehutanan, peternakan, upacara-upacara, dan lain-lain.

C. Undang-Undang Sultan Adam (UUSA)

          Sejak Sultan Adam dikukuhkan sebagai Sultan Banjar pada tahun 1825 M menggantikan ayahnya Sultan Sulaiman atau Pangeran Nata Dilaga sampai berakhirnya masa pemerintahannya pada tahun 1857 M, kondisi kehidupan rakyat Banjar relatif aman, damai, dan terkendali. Kalaupun ada gangguan, maka gangguan itu datangnya dari orang-orang Belanda, yang waktu itu sudah masuk ke daerah Banjar. Orang-orang Belanda datang ke Banjar membawa kebiasaan, adat-istiadat dan agama mereka sendiri. Kebiasaan dan agama yang berlandaskan kepada nilai-nilai luhur dan moral, berbeda dengan kebiasaan dan agama yang dipercayai oleh orang-orang Belanda, keadaaan ini membuat mereka sering terlibat konflik dengan orang Banjar. Itulah sebabnya untuk memperkokoh kesatuan kerajaan dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan kehidupan beragama masyarakat Banjar maka hal ini menjadi salah satu sebab mengapa Sultan Adam al-Watsiq Billah kemudian dengan dibantu oleh Mufti Haji Jamaluddin dan Pangeran Syarif Hussien membuat serta menetapkan berlakunya Undang-Undang Sultan Adam, di samping sebab-sebab lainnya.

           Dalam kehidupan sehari-hari, sebagai seorang Sultan, dia dikenal sebagai sultan yang keras dalam menjalankan dan dihormati oleh rakyatnya, dia juga seorang sultan yang sangat memperhatikan perkembangan agama Islam di kerajaan Banjar. Pendidikan agama yang dilakoninya sejak kecil dengan para ulama besar, yakni Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari maupun Mufti H. Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari telah menghidupkan ruh, semangat, dan ghirah agama yang tinggi dalam jiwanya. Nilai-nilai rohani ajaran agama telah mengisi dan menyentuh relung hatinya, sehingga ketika ia menjabat sebagai Sultan Banjar kehidupan agama masyarakat Banjar menjadi prioritas utama pemerintahannya.

          Dalam rangka untuk menangkal pengaruh asing, menjadikan kehidupan beragama masyarakat Banjar lebih baik dan sempurna, mencegah terjadinya persengketaan, dalam rangka pengembangan ajaran Islam, merupakan sebab-sebab penting yang melatarbelakangi Sultan Adam membuat dan menetapkan suatu ketentuan yang mengatur kehidupan beragama, bernegara, dan bermasyarakat bagi rakyat di negeri Banjar, yang kemudian dikenal dengan sebutan Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). Inilah salah satu prestasi cemerlang Sultan Adam, dan telah membawa pengaruh yang positif terhadap kehidupan masyarakat Banjar ketika itu.

          Undang-Undang Sultan Adam tersebut ditetapkan setelah ia menjabat sebagai Sultan Banjar selama lebih kurang 10 tahun, tepatnya pada hari Kamis, 15 Muharram 1251 H atau pada tahun 1835 M. Ada beberapa versi dari UUSA ini, salah satu dari versi dimaksud, UUSA ini terdiri dari 29 Pasal, di antara materi pokok yang termaktub di dalamnya adalah:

  1. Masalah-masalah yang berkenaan dengan keyakinan agama dan pelaksanaan ibadah atau ajaran agama, hal ini dapat dilihat pada:
    • Pasal 1 berkenaan dengan masalah keyakinan agama (itiqad ahlussunnah wal jamaah)
    • Pasal 2 berkenaan dengan perintah untuk mendirikan langgar dan melaksanakan shalat fardhu berjamaah
    • Pasal 20 berkenaan dengan kewajiban melihat awal dan akhir bulan Ramadhan untuk puasa, juga awal dan akhir bulan Dzulhijjah (bulan Haji)

       2. Masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum tata pemerintahan, hal ini dapat dilihat pada:

    • Pasal 3 dan 21 berkenaan dengan tugas dan kewajiban tetuha kampung
    • Pasal 31 berkenaan dengan tugas dan kewajiban mereka yang diserahi jabatan sebagai Lurah dan Mantri-Mantri

       3. Masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum pernikahan, hal ini dapat dilihat pada:

    • Pasal 4 dan 5 yang menjelaskan tentang syarat-syarat nikah
    • Pasal 6 menjelaskan tentang masalah perceraian
    • Pasal 18 berkenaan dengan masalah perpisahan sementara antara suami-istri (barambangan)
    • Pasal 25 dan 30 berkenaan dengan masalah dakwaan zina terhadap istri dan pembahasan tentang perbuatan zina

        4. Masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum acara peradilan, hal ini dapat dilihat pada:

    • Pasal 7 dan 8 yang berbicara mengenai tugas dan kewajiban mufti sebagai hakim tertinggi dalam pengadilan negara
    • Pasal 9 berisi larangan bagi pihak-pihak yang berperkara untuk datang kepada pejabat
    • Pasal 10 menjelaskan tentang tugas para hakim
    • Pasal 11 menjelaskan tentang pelaksanaan putusan pengadilan
    • Pasal 12 pengukuhan keputusan pengadilan terhadap sebuah perkara
    • Pasal 13 menjelaskan tentang tugas dan kewajiban mereka yang diserahi jabatan sebagai Bilal dan Kaum
    • Pasal 14 tentang surat dakwaan
    • Pasal 15 menetapkan tenggang waktu terjadinya gugat-menggugat antara merela yang berperkara
    • Pasal 19 larangan bagi para Raja (keluarga) atau Mantri-Mantri untuk ikut campur dalam urusan perdata, kecuali jika ada surat resmi dari hakim

        5. Masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum dan pemanfaatan tanah, hal ini dapat dilihat pada:

    • Pasal 17 tentang gadai tanah
    • Pasal 23 dan 26 tentang masalah daluarsa
    • Pasal 27 dan 28 tentang sewa tanah dan pengolahan tanah
    • Pasal 29 tentang sikap menelantarkan tanah (tidak menggarap tanah).

          Berdasarkan materi UUSA di atas, sangat terasa bagaimana semangat dan keinginan yang kuat dari Sultan Adam untuk membumikan ajaran Islam secara nyata di seluruh kawasan Negeri Banjar, bagi rakyatnya, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.

D. Penutup

          Sejarah panjang penyebaran dan perkembangan Islam di Tanah Banjar telah memberikan warna yang khas terhadap kehidupan umat Islam di daerah ini. Komitmen pemerintahan (Kerajaan Banjar) untuk menjadikan masyarakatnya dalam kondisi kehidupan yang lebih baik dan religious telah ditata secara khusus dalam bentuk undang-undang, yakni Undang-Undang Sultan Adam. Satu undang-undang yang dirumuskan melalui kerjasama dan sinergi ulama dan kepala pemerintahan dan menjadi penanda penting bagaimana perkembangan Islam dalam wilayah Kesultanan Banjar pada masa itu.

          Sultan Adam sendiri, oleh masyarakat Banjar diakui sebagai salah seorang sultan yang berhasil dalam mengendalikan pemerintahan dan mengadopsi Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prestasi nyata pemerintahan Sultan Adam yang paling populer adalah perumusan dan penetapan UUSA.

         Demikian, setelah lebih kurang 32 tahun lamanya menjalankan roda pemerintahan dan menjadi Sultan yang mencintai dan dicintai oleh rakyatnya di Tanah Banjar, pada tanggal 4 Rabiul Awal 1274 H atau 1 Nopember 1857, Sultan Adam wafat dalam usia 72 tahun dan dikuburkan di komplek permakaman Kampung Jawa Martapura.

 

Daftar Pustaka

Ahmad Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1996.

Amir Hasan Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, Percetakan Karya, Banjarmasin, 1953.

Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Tuan Haji Besar. Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar, Martapura, 1996.

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1999.

Hurgronje, C. Snouck, Islam di Hindia Belanda, terj. S. Gunawan, Bhratara, Jakarta, 1973.

Muhammad Marwan, Manakib Datu Suban dan Para Datu, Toko Buku Sahabat, Kandangan, 2001.

M. Idwar Saleh, Sejarah Bandjarmasin, KPPK Balai Pendidikan Guru, Bandung, 1958.

Helius Sjamsuddin, Helius, Islam dan Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Tengah pada Abad 19 dan Awal Abad 20, Pusat Studi dan Pengembangan Borneo, Yogyakarta, 2000.

Streenbrink, Karel S., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1989.

M. Asywadie Syukur, Perkembangan Ilmu KeIslaman di Kalimantan, makalah disampaikan pada seminar On Islamic References in the Malay World, Makalah Seminar, tanggal 2-6 Agustus 2001, Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam.

Yusliani Noor, Sejarah Perjuangan Umat Islam Kalimantan Selatan dari Pasca Kesultanan Banjar Hingga Zaman Reformasi Indonesia Tahun 1998, Makalah Seminar, tanggal 10 Oktober 2001, PPIK IAIN Antasari Banjarmasin.

Yusuf Halidi, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1984.

Zafry Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai Ulama Juru Dakwah dalam Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad ke-13 H/18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara, Percetakan Karya, Banjarmasin, 1974.

Zulfa Jamalie, dkk (ed.), Khazanah Intelektual Islam Ulama Banjar, Pusat Pengkajian Islam Kalimantan (PPIK) IAIN Antasari, Banjarmasin, 2003.

———, Biografi dan Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Matahari Islam Kalimantan, Pusat Pengkajian Islam Kalimantan (PPIK) IAIN Antasari, Banjarmasin, 2005.