Membangkitkan Kesultanan Banjar Tidak Sama Sekadar Meneruskan

Membangkitkan Kesultanan Banjar Tidak Sama Sekadar Meneruskan

Kesultanan Banjar adalah salah satu kerajaan Islam bersejarah di Kalimantan yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan budaya, agama, dan tatanan sosial masyarakat Banjar. Namun dalam sejarah panjangnya, kesultanan ini mengalami pasang surut, termasuk masa vakum setelah intervensi kolonial.

Ketika terjadi pergulatan politik antara Kesultanan Banjar dengan pemerintahan kolonial Belanda, para elit politik Kesultanan Banjar dengan terpaksa harus tersingkir dari pemerintahan yang sah dengan adanya maklumat dari pemerintahan kolonial Belanda tanggal 11 Juni 1860. Dalam maklumat itu pemerintahan kolonial yang telah menguasai aspek politik menghapuskan secara sepihak seluruh kedaulatan wilayah Kesultanan Banjar.

Kesultanan Banjar pun secara de facto telah berhenti berkuasa sejak berakhirnya Perang Banjar pada tahun 1905, setelah tekanan kolonial Belanda berhasil menghapuskan perlawanan kekuatan militer Kesultanan Banjar. Sejak itu, takhta Kesultanan Banjar hanya hidup di ruang kenangan dan silsilah bukan dalam struktur pemerintahan atau masyarakat.

Artinya, membangkitkan kembali bukan sekadar melantik seorang sultan hanya berdasar silsilah keturunan. Tetapi lebih dari itu, ia harus menjawab pertanyaan penting: apa fungsi kesultanan hari ini? Apa yang mau dihidupkan kembali, apakah simbol, nilai, atau kekuasaan?

Siapa yang berani bertanggung jawab menanggung biaya, tenaga, dan waktu yang akan dibaktikan untuk terus menjaga eksistensinya di masa depan?

Sejak tahun 2010 lalu Kesultanan Banjar telah berhasil dibangkitkan kembali. Namun penting untuk memahami bahwa membangkitkan kembali tidak sama dengan meneruskan—dua konsep ini memiliki perbedaan mendasar dalam konteks sejarah, legitimasi, dan visi ke depan.

1. Meneruskan: Melanjutkan yang Terjaga

Meneruskan berarti melanjutkan sesuatu yang masih hidup meskipun dalam kondisi minim, tersembunyi atau rahasia. Jika Kesultanan Banjar memang ternyata masih eksis dalam bentuk simbolik atau adat (misalnya, garis keturunan masih diakui, kegiatan budaya masih dilakukan, atau struktur kepemimpinan tetap berjalan walau informal), maka penerus tinggal melanjutkan estafet dari generasi sebelumnya.

Dalam konteks ini, meneruskan berarti menjaga kesinambungan tradisi, menerapkan nilai-nilai warisan leluhur, dan mempertahankan bentuk-bentuk kebudayaan yang masih ada. Tidak ada perubahan radikal yang diperlukan, karena institusi tersebut tidak benar-benar mati—hanya tidak aktif secara politik atau sosial.

Apakah Kesultanan Banjar tetap melakukan hal tersebut di atas setelah berakhirnya Perang Banjar ?

2. Membangkitkan Kembali: Rekonstruksi dan Revitalisasi

Sebaliknya, membangkitkan kembali Kesultanan Banjar berarti membangun ulang sesuatu yang pernah runtuh atau mati. Ini bukan hanya soal mencari penerus takhta, tetapi juga membangun kembali struktur sosial, budaya, bahkan ideologi yang telah tergerus oleh zaman, kolonialisme, dan modernisasi.

Membangkitkan kembali memerlukan:

  • Rekonstruksi sejarah: Menelusuri dan menyusun ulang narasi yang telah hilang atau dilupakan.
  • Legitimasi baru: Menyusun kembali legitimasi melalui pengakuan lembaga adat, tokoh budaya, dan masyarakat.
  • Fungsi baru: Menentukan apa peran kesultanan di era modern—apakah sebagai lembaga budaya, agama, atau memiliki fungsi sosial yang lebih luas.

3. Tantangan dalam Membangkitkan Kembali

Membangkitkan kembali lebih kompleks daripada meneruskan. Tantangan utamanya adalah:

  • Ketiadaan struktur formal: Banyak lembaga tradisional yang hilang atau tidak lagi berfungsi.
  • Perubahan sosial: Masyarakat sekarang tidak lagi hidup dalam sistem kerajaan, sehingga pendekatan yang digunakan harus adaptif.
  • Fragmentasi identitas: Tidak semua keturunan atau kelompok budaya sepakat dengan satu visi kebangkitan.

Namun membangkitkan kembali adalah momentum penting untuk:

  • Menguatkan identitas kultural masyarakat Banjar.
  • Menyediakan alternatif kepemimpinan simbolik yang memperkuat nilai-nilai lokal.
  • Menjadi pusat pelestarian budaya dan sejarah yang hidup.

4. Kesultanan sebagai Simbol Budaya

Dalam konteks negara modern seperti Indonesia, kebangkitan Kesultanan Banjar tidak dimaksudkan untuk menghidupkan kembali sistem monarki dalam arti politik. Sebaliknya, kebangkitan ini bisa diarahkan sebagai penguatan identitas budaya, pelestarian sejarah, dan pendidikan karakter berbasis lokal.

Kesultanan Banjar yang dibangkitkan kembali bisa menjadi ikon budaya Banjar yang mempersatukan masyarakat dalam akar sejarah yang sama. Ia menjadi narasi kolektif yang meneguhkan keberadaan etnis Banjar di tengah arus globalisasi.

Penutup

Membangkitkan berarti memulai kembali dari sesuatu yang pernah berhenti. Dalam konteks Kesultanan Banjar saat ini, membangkitkan bukan sekadar penobatan sultan baru kepada orang yang merasa paling berhak dan sah, tetapi membangun kembali roh, nilai, kehormatan, dan peran Kesultanan Banjar dalam masyarakat modern.

Menghidupkan kembali Kesultanan Banjar bukan pekerjaan sekejap. Ini bukan sekadar meneruskan takhta yang ditinggalkan, melainkan membangun kembali makna dan relevansi di tengah dunia yang berubah. Langkah ini bisa menjadi peluang besar untuk merekatkan identitas budaya Banjar, selama dijalankan dengan kehati-hatian, keterbukaan, dan visi menghadapi tantangan masa depan yang jelas.

Dalam melewati tantangan ini Kesultanan Banjar membutuhkan tokoh sekelas negarawan yang kuat secara finansial dan dihormati dalam kancah politik lokal maupun nasional, memiliki visi yang tajam, mendapat dukungan masyarakat, serta mempunyai metode yang cermat agar Kesultanan Banjar tidak hanya menjadi simbol masa lalu tetapi juga kekuatan budaya di masa depan.