Budaya Batapung Tawar, Konsep Filosopi, Identitas, dan Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam

Budaya Batapung Tawar, Konsep Filosopi, Identitas, dan Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam

Muhammad Jikri, M. Noor Fuady

Tulisan ini membahas tentang budaya Budaya Batapung Tawar yang merupakan tradisi masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan yang menggabungkan elemen budaya Hindu-Kaharingan dengan nilai-nilai Islam. Ritual ini, yang melibatkan pemercikan air tawar yang dicampur dengan minyak likat baboreh, memiliki makna spiritual dan sosial yang dalam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji konsep budaya Batapung Tawar, mengidentifikasi nilai-nilai pendidikan agama Islam yang terkandung dalamnya, serta pentingnya pelestariannya dalam konteks modern. Melalui analisis terhadap pelaksanaan ritual dan filosofi yang mendasarinya, ditemukan bahwa Batapung Tawar tidak hanya merupakan ritual budaya, tetapi juga mencerminkan pendidikan akidah, ibadah, dan akhlak dalam Islam. Penelitian ini juga menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara tradisi dan ajaran Islam dalam pelaksanaan budaya ini.

Kata kunci: Batapung Tawar, Masyarakat Banjar, Akulturasi Budaya, Pendidikan Islam, Akidah, Ibadah, Akhlak.

PENDAHULUAN

Budaya Batapung Tawar merupakan tradisi yang kaya dan berharga dari masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, Indonesia. Tradisi ini memiliki akar sejarah yang mendalam, berasal dari kebudayaan Hindu dan Kaharingan (Dayak), sebelum akhirnya mengalami akulturasi dengan nilai-nilai Islam setelah penyebaran agama tersebut di Kerajaan Banjar. Tapung Tawar berasal dari dua kata dalam bahasa lokal, di mana “tapung” merujuk pada wadah atau tempat, dan “tawar” berarti air yang tidak mengandung rasa atau tidak asin. Secara keseluruhan, “Tapung Tawar” dapat diartikan sebagai ritual yang melibatkan air tawar, biasanya digunakan dalam konteks budaya atau keagamaan, di mana air tersebut dipercaya memiliki khasiat spiritual atau untuk tujuan pembersihan, doa, dan permohonan kepada Tuhan. Ritual ini sering kali dilakukan untuk memohon keselamatan, kesehatan, atau berkah dalam kehidupan.

Ritual ini tidak hanya sekadar upacara, tetapi juga merupakan bentuk doa dan harapan kepada Tuhan, di mana air yang dicampur dengan minyak likat baboreh dipercikan ke tubuh individu atau benda sebagai simbol berkah. Batapung Tawar menjadi bagian integral dari berbagai perayaan penting dalam kehidupan masyarakat, seperti kelahiran anak, pernikahan, dan peresmian rumah baru. Dengan demikian, tradisi ini mencerminkan nilai-nilai luhur dan spiritualitas masyarakat Banjar, serta berfungsi sebagai pengikat sosial yang memperkuat hubungan antaranggota komunitas. Pelestarian Batapung Tawar sangat penting untuk menjaga identitas budaya dan warisan nenek moyang agar tetap relevan di tengah perkembangan zaman yang cepat.

LANDASAN TEORI

Budaya Batapung Tawar adalah tradisi yang unik dan mendalam dari masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, Indonesia. Praktik ini, yang melibatkan ritual percikan air tawar yang dicampur dengan minyak baboreh, mencerminkan perpaduan antara kepercayaan asli (Hindu-Kaharingan) dan nilai-nilai Islam. Memahami Batapung Tawar melalui perspektif teori membutuhkan analisis terhadap dimensi budaya, agama, dan sosial yang membentuk dan memberi makna pada ritual ini.

1. Akulturasi Budaya dan Sinkretisme

Batapung Tawar adalah contoh utama dari akulturasi budaya, di mana elemen-elemen agama dan budaya yang berbeda bergabung untuk menciptakan tradisi yang unik. Perpaduan pengaruh Hindu-Kaharingan dan Islam ini mencerminkan sifat dinamis dan adaptif dari praktik budaya dalam masyarakat multikultural. Menurut antropolog John W. Cole, akulturasi adalah suatu proses di mana suatu budaya mengadopsi atau menyesuaikan elemen-elemen dari budaya lain. Dalam kasus Batapung Tawar, akar-akar Hindu-Kaharingan dari ritual yang menekankan pemurnian spiritual dan berkat disesuaikan untuk selaras dengan nilai-nilai Islam setelah masyarakat Banjar memeluk agama Islam. Praktik ini, dengan demikian, menggambarkan proses sinkretisme, di mana tradisi-tradisi asli digabungkan dengan ajaran Islam, menciptakan koeksistensi yang harmonis antara kedua sistem tersebut.

2. Nilai-nilai Agama Islam dalam Batapung Tawar

Ritual Batapung Tawar tidak hanya mengandung makna budaya, tetapi juga memuat nilai-nilai Islam yang penting, khususnya yang berkaitan dengan aqidah (iman), ibadah (i badah), dan akhlak (etika). Para ulama Islam menekankan pentingnya integrasi antara iman dan amal, di mana setiap aspek kehidupan seorang Muslim dipandu oleh ajaran Islam. Dalam ritual Batapung Tawar, tindakan menyiramkan air dan minyak melambangkan pemurnian spiritual, yang dapat disamakan dengan wudu (ablusi) dalam Islam, suatu praktik pemurnian fisik dan spiritual sebelum salat. Ini sejalan dengan konsep Islam tentang kemurnian tubuh dan jiwa, yang sangat penting untuk ibadah.

Selain itu, kehadiran doa-doa dan permohonan selama upacara Batapung Tawar mencerminkan aspek ibadah, di mana masyarakat memohon berkat dan perlindungan dari Allah. Ritual ini juga berfungsi sebagai bentuk kohesi sosial, memperkuat solidaritas dalam komunitas, yang merupakan komponen penting dari akhlak (moralitas Islam). Melalui Batapung Tawar, masyarakat diingatkan akan pentingnya ketulusan, rasa hormat terhadap tradisi, dan kewajiban moral untuk menjaga harmoni antara agama dan budaya.

3. Peran Ritual dalam Masyarakat

Dari perspektif sosiologis, ritual seperti Batapung Tawar memainkan peran penting dalam memperkuat norma dan nilai sosial. Menurut teori ritual Victor Turner, ritual berfungsi sebagai bentuk drama sosial, memungkinkan individu untuk menavigasi transisi hidup sekaligus memperkuat ikatan komunitas. Batapung Tawar berfungsi sebagai ritual pribadi dan komunal. Bagi individu, ritual ini melambangkan penyucian spiritual dan hubungan dengan Yang Maha Kuasa, sementara bagi komunitas, ritual ini mewakili nilai-nilai bersama, sejarah, dan identitas budaya.

Tindakan melaksanakan ritual Batapung Tawar juga menunjukkan bentuk memori kolektif, di mana sejarah bersama dan identitas agama komunitas dipertahankan dan diteruskan ke generasi berikutnya. Konsep habitus yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu kebiasaan, keterampilan, dan disposisi yang tertanam yang diperoleh orang melalui pengalaman hidup mereka dapat diterapkan di sini untuk memahami bagaimana masyarakat Banjar mempertahankan dan menurunkan aspek budaya dan agama dari Batapung Tawar. Oleh karena itu, ritual ini berfungsi sebagai penanda identitas dan peneguhan kelanjutan budaya.

4. Pentingnya Pelestarian Budaya dalam Konteks Modern

Praktik Batapung Tawar yang terus berlangsung pada zaman kontemporer menegaskan pentingnya pelestarian budaya dalam dunia yang cepat berubah. Dalam konteks modern, di mana globalisasi dan penyebaran teknologi baru seringkali mengancam praktik-praktik tradisional, ritual seperti Batapung Tawar berfungsi sebagai bentuk perlawanan budaya. Menurut Clifford Geertz, praktik budaya seperti ritual memberikan makna simbolis yang membantu individu memahami kehidupan mereka dan menavigasi kompleksitas eksistensi modern. Oleh karena itu, Batapung Tawar menyediakan ruang bagi komunitas Banjar untuk menegaskan identitas budaya mereka sambil merangkul ajaran Islam.

Pelestarian Batapung Tawar, dengan demikian, bukan hanya masalah menjaga tradisi, tetapi juga cara untuk memastikan bahwa nilai-nilai Islam diterapkan dan dipahami dalam konteks lokal. Hal ini menyoroti pentingnya menyeimbangkan warisan budaya dengan praktik agama, memperkuat rasa memiliki dan iman di antara anggota komunitas.

5. Nilai Pendidikan dalam Batapung Tawar

Selain aspek budaya dan agama, Batapung Tawar juga mengandung nilai pendidikan. Ritual ini mengajarkan generasi muda tentang pentingnya menghormati tradisi, memahami hubungan antara agama dan budaya, serta melestarikan kesatuan komunitas. Dalam konteks pendidikan, Batapung Tawar dapat dipandang sebagai bentuk pendidikan agama Islam, di mana individu tidak hanya belajar tentang ritual, tetapi juga makna yang lebih dalam tentang taqwa (ketakwaan), tawhid (keesaan Tuhan), dan adab (perilaku yang baik) dalam Islam.

Dengan mengajarkan nilai-nilai ini dalam konteks praktik tradisional, Batapung Tawar membantu menanamkan rasa tanggung jawab moral, rasa hormat terhadap ritual agama, dan penghargaan terhadap keragaman budaya. Ritual ini bertindak sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini, memastikan bahwa nilai-nilai dari warisan leluhur masyarakat Banjar dan iman Islam mereka diteruskan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi langsung, wawancara, dan studi literatur. Penelitian dilakukan di Desa Barambai Kec. Barambai Kab. Barito Kuala, Kalimantan Selatan, dengan melibatkan masyarakat yang masih melaksanakan tradisi Batapung Tawar. Data yang terkumpul dianalisis untuk menggali makna ritual, akulturasi budaya, dan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi tersebut.

PEMBAHASAN

Konsep Budaya Batapung Tawar

Batapung Tawar adalah tradisi yang berasal dari masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, Indonesia. Tapung Tawar” berasal dari dua kata dalam bahasa lokal, di mana “tapung” merujuk pada wadah atau tempat, dan “tawar” berarti air yang tidak mengandung rasa atau tidak asin. Secara keseluruhan, “Tapung Tawar” dapat diartikan sebagai ritual yang melibatkan air tawar, biasanya digunakan dalam konteks budaya atau keagamaan, di mana air tersebut dipercaya memiliki khasiat spiritual atau untuk tujuan pembersihan, doa, dan permohonan kepada Tuhan. Ritual ini sering kali dilakukan untuk memohon keselamatan, kesehatan, atau berkah dalam kehidupan.

Proses Pelaksanaan Ritual Batapung Tawar biasanya dilakukan dalam berbagai perayaan, seperti:

Secara keseluruhan, Batapung Tawar bukan hanya sekadar ritual; ia adalah cerminan dari perjalanan budaya masyarakat Banjar yang kaya akan nilai-nilai luhur dan spiritualitas. Tradisi ini mengajak masyarakat untuk tetap menjaga akar budaya mereka sambil beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Batapung Tawar menjadi bagian integral dari identitas budaya masyarakat Banjar. Tradisi ini diadakan dalam berbagai perayaan penting seperti:

a. Mandi-mandi Saat Hamil

Perayaan mandi-mandi hamil dilaksanakan saat kehamilan pertama, biasanya pada usia tujuh bulan atau tidak lama setelahnya. Upacara ini dilakukan saat bulan turun, khususnya pada minggu ketiga bulan Arab. Wanita hamil memakai pakaian indah dan perhiasan, duduk di ruang tengah di atas lapik sambil memangku kelapa tumbuh yang dibalut kain kuning, menghadapi sajian wadai empat puluh. Setelah beberapa lama, wanita hamil turun ke pagar mayang sambil menggendong kelapa, diiringi shalawat bersama undangan wanita. Di pagar mayang, kelapa diserahkan kepada orang lain, pakaian diganti dengan kain basahan kuning hingga dada, lalu duduk di atas bamban bajalin hingga kuantan tanah remuk.

Para wanita tua menyiramkan air bunga, membedakkan kasai temu giring, dan mengeramasi. Setelah itu, air banyu sungai kitanu, banyu baya campur banyu yasin atau doa, dan banyu burdah disiramkan. Setiap kali disiram, wanita hamil diminta meminumnya sedikit. Sebuah mayang pinang yang belum terbuka diletakkan di kepala dan ditepuk hingga pecah, lalu disiram dengan air kelapa muda tiga kali berturut-turut, dengan posisi mayang berbeda. Airnya juga harus diminum sedikit. Dua tangkai mayang diselipkan di telinga wanita hamil, lalu dua perempuan tua membantu meloloskan lawai dari kepala hingga kaki tiga kali berturut-turut. Setelah itu, tubuh dikeringkan, pakaian diganti, dan wanita hamil keluar dari pagar mayang. Di luar, wanita hamil harus memijak telur ayam sambil dibacakan shalawat. Kembali di ruang tengah, wanita hamil duduk di lapik di depan tamu, disisiri dan disanggul rambutnya. Pada saat itu juga dilakukan tapung tawar, yaitu pemercikan minyak likat baboreh dengan anyaman daun kelapa.

b. Bapalas Bidan

Perayaan bapalas bidan masih dilaksanakan oleh masyarakat Banjar, termasuk di Desa Murung Selong, Kelurahan Sungai Lulut. Perayaan ini terdiri dari tiga kegiatan utama: pembacaan doa, batapung tawar, dan serah terima. Doa selamat dibacakan oleh tamu pria yang diundang secara mendadak. Setelah doa, acara berlanjut ke ruang tengah atau belakang, di mana ibu duduk sambil memangku bayi yang dibalut kain kuning. Bidan memasang benang lawai dari ibu jari kaki hingga leher ibu, dengan jumlah benang berbeda untuk bayi laki-laki dan perempuan. Kemudian, dilakukan batapung tawar pada ibu dan bayi, dilanjutkan dengan anggota keluarga sekitar, dan akhirnya bidan memanapung tawari dirinya sendiri.

Setelah tapung tawar selesai, ayah bayi mendampingi ibu untuk acara panyarahan, di mana kedua suami istri menyerahkan piduduk kepada bidan sebagai ucapan terima kasih dan maaf atas kekurangan. Bidan kemudian menyerahkan bayi kepada orang tua, dan hadiah diberikan kepada pembantu bidan yang turut membantu saat kelahiran.

Perayaan bapalas bidan adalah bentuk ungkapan terima kasih orang tua kepada bidan, serta doa syukur atas kelahiran bayi, agar bayi diberikan keselamatan. Proses batapung tawar dalam perayaan ini sama dengan perayaan lainnya.

c. Pemberian Nama pada Anak atau Batasmiyah

Perayaan kelahiran anak dalam masyarakat Banjar sering diawali dengan upacara pemberian nama atau Batasmiyah. Nama dianggap sebagai doa dan harapan orang tua untuk masa depan anak, oleh karena itu, banyak orang tua yang meminta bantuan tokoh adat atau ulama dalam menentukan nama yang baik. Upacara ini dimulai dengan pembacaan ayat-ayat suci Alquran, diikuti dengan pemberian nama dan akikah yang dipimpin oleh seorang guru sesuai dengan ajaran Islam. Setelah itu, dilakukan doa keselamatan untuk bayi, orang tua, dan keluarga.

Tahapan selanjutnya adalah pemotongan rambut bayi sebagai simbol menghilangkan pengaruh buruk, diikuti dengan olesan gula merah dan air kelapa di bibir bayi, sebagai simbol pengenalan manis pahitnya kehidupan. Selanjutnya, dilakukan prosesi batapung tawar, yaitu pemercikan minyak likat baboreh kepada bayi dan orang tua, dengan diiringi shalawat dan musik rebana. Bayi kemudian digendong oleh orang tua, berkeliling menghampiri tamu-tamu yang hadir, yang akan memercikkan minyak tersebut sambil memberikan doa dan harapan baik untuk masa depan bayi.

Tujuan dari batapung tawar dalam perayaan Batasmiyah adalah untuk meminta keselamatan serta menjauhkan bayi dan orang tuanya dari bahaya. Tradisi ini juga dimaksudkan untuk memberi semangat kehidupan atau yang dikenal dengan istilah kuur sumangat. Meskipun bahan yang digunakan dalam batapung tawar sama dengan perayaan lainnya, prosesnya sedikit berbeda, di mana pemercikan air tapung tawar dilakukan saat pembacaan maulid Nabi Muhammad SAW.

d. Baantaran Jujuran

Kesimpulan dari perayaan Baantaran Jujuran dalam adat masyarakat Banjar adalah sebagai bentuk tahapan upacara perkawinan yang melibatkan pemberian mas kawin atau jujuran kepada pihak perempuan. Dalam perayaan ini, berbagai peralatan dan barang, seperti uang jujuran, emas, dan peralatan lainnya, diantarkan oleh pihak jejaka kepada pihak perempuan dengan prosesi yang melibatkan pembacaan doa selamat. Salah satu bagian penting dari perayaan ini adalah batapung tawar di mana air tapung tawar dipercikkan ke barang-barang jujuran dan peralatan lainnya dengan harapan agar mas kawin tersebut diberkahi, tidak cepat habis, dan dapat digunakan untuk kebaikan kedua mempelai. Proses batapung tawar pada perayaan Baantaran Jujuran sedikit berbeda, karena air tapung tawar tidak dipercikkan ke tubuh, melainkan ke benda-benda yang menjadi bagian dari mas kawin dan perlengkapan lainnya.

e. Mandi Pengantin

Sebelum acara perkawinan adat Banjar dilaksanakan, ada satu adat yang sering dilakukan oleh calon pengantin yang akan memasuki jenjang perkawinan, yaitu perayaan bamandi-mandi. Perayaan mandi bagi pengantin dilaksanakan pada pagi hari menjelang upacara bersanding pada siangnya. Setelah berbagai persiapan selesai, calon pengantin duduk di atas lapik menghadapi saji-saji yang diperlukan. Paiyasan mencukur rambut-rambut halus disekitar dahi, pelipis, kening, dan kuduk, kegiatan ini dinamakan baiyas (dirias).

Setelah beberapa waktu, pengantin turun ke tempat perayaan mandi yang telah disiapkan dengan iringan pembacaan shalawat bersama-sama. Di tempat perayaan mandi pengantin basilih kain basahan kuning lalu duduk dengan kaki diluruskan ke arah timut. Paiyasan mengejamasinya, menggosok badannya dengan kasai temu giring (sejenis bedak campuran dari temu giring , jeruk purut dan bedak beras), mamapaikan mayang dan daun kambat serta daun balinjuang ke atas kepala si gadis tiga kali berturut-turut yang diikuti pula oleh pembantu-pembantunya, menyiramkan air bunga, banyu yasin , air do’a dan air sungai kitanu, yang juga dilakukan berganti-ganti oleh paiyasan dan wanita-wanita tua yang membantunya.

Setelah itu badan pengantin dikeringkan dengan handuk dan basilih pakaian lalu naik ke rumah untuk duduk kembali di atas lapik. Paiyasan dan pembantunya mendandaninya, lalu manapung tawarinya. Terakhir dibacakan surah Yasin.

Maksud diadakannya budaya batapung tawar dalam perayaan Mandi Pengantin ini untuk meminta keselamatan serta menjauhkan kedua calon pengantin dari pengaruh-pengaruh jahat. Adapun alat dan bahan yang digunakan serta proses batapung tawar dalam perayaan mandi pengantin ini tidak berbeda dengan perayaan yang lain.

f. Melepas dan Menyambut Haji

Pada acara pelepasan dan penyambutan orang yang pergi berhaji juga dilaksanakan budaya batapung tawar. Masing-masing dari keduanya mempunyai tahapan-tahapan yang berbeda. Dalam perayaan melepas orang yang pergi berhaji dimulai dari duduk di atas lapik yang terdiri dari kain bahalai tiga helai dan kain putih satu helai yang diletakkan di atas kain bahalai tersebut. Kemudian ditapung tawari oleh tetua masyarakat dan dilanjutkan dengan pembacaan Surah Yasin bersama-sama. Setelah itu, ketika orang yang pergi berhaji berdiri dari lapik tersebut dan beranjak keluar rumah, harus ada salah satu dari anggota keluarga yang menggantikan duduk di lapik tersebut dan diharuskan mengulang lagi membaca Surah Yasin. Adapun untuk pembacaan Surah Yasin ada yang membacanya hanya 1 kali, ada yang tiga kali, dan ada juga sampai orang yang mengantar orang berhaji datang kembali sesuai dengan keyakinan masing-masing. Adapun dalam perayaan menyambut orang yang datang berhaji, tahapan yang dilakukan ialah sebelum ke rumah, orang yang datang dari haji diharuskan berziarah ke makam orang tuanya terlebih dahulu.

Kemudian kembali ke rumah, akan tetapi sebelum masuk rumah diadakan upacara pembasuhan kaki orang yang datang dari berhaji oleh anak-anaknya. Kemudian duduk di lapik yang telah disediakan kemudian ditapung tawari dan membaca Surah Yasin bersama- sama dan diakhiri dengan pembacaan do’a selamat. Terakhir dilanjutkan dengan memakan hidangan bersama-sama, adapun hidangannya adalah makanan atau oleh-oleh yang dibawa dari tanah suci seperti air zam-zam, kurma dan kacang Arab.

Masing-masing darinya terdapat makna yakni, pada acara pelepasan haji budaya batapung tawar bertujuan agar orang yang pergi melaksanakan haji mendapatkan keselamatan dan keberkahan dalam perjalanannya. Sedangkan makna batapung tawar pada acara penyambutan orang yang baru datang dari melaksanakan ibadah haji adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas keselamatan dalam menunaikan ibadah haji.

Adapun alat dan bahan yang digunakan serta proses batapung tawar dalam perayaan melepas dan menyambut haji ini tidak berbeda dengan perayaan yang lain.

g. Selamatan Kendaraan dan Rumah Baru

Masyarakat Banjar terkenal sangat agamis, hal ini ditunjukkan dengan budaya basalamatan atau pembacaan do’a selamat sebagai ungkapan rasa syukur ketika seseorang mempunyai kendaraan atau rumah baru. Adapun dalam perayaan selamatan kendaraan baru dimulai dari mengumpulkan keluarga dan tetangga, kemudian pembacaan do’a selamat dan memakan hidangan berupa kakoleh. Setelah itu, sendok bekas makan hidangan berupa kakoleh tadi dikumpulkan lalu direndam ke dalam air di dalam sebuah mangkok. Kemudian air bekas rendaman sendok tadi dipercikkan ke kendaraan bersamaan dengan minyak likat baboreh dan yang biasa disebut dengan batapung tawar. Adapun dalam perayaan selamatan rumah baru dimulai dengan mengumpulkan keluarga dan tetangga juga, setelah itu melaksanakan sholat hajat, pembacaan burdah dan pembacaan do’a selamat. Kemudian dilanjutkan dengan manapung tawari empat buncu rumah atau empat sisi rumah dan terakhir memakan hidangan.

Masing-masing darinya mempunyai makna yakni, pada acara selamatan kendaraan baru budaya batapung tawar bertujuan untuk meminta keselamatan ketika mengendarainya sedangkan pada acara selamatan rumah baru budaya batapung tawar ini bertujuan untuk meminta selamatan ketika menempati rumah barunya.

Alat dan bahan yang digunakan tidak berbeda dengan perayaan yang lain. Sedangkan proses yang dilakukan ketika batapung tawar dalam perayaan selamatan kendaraan dan rumah baru ini berbeda dengan perayaan yang lain, jika pada kendaraan baru yakni air tapung tawar dipercikkan pada kendaraannya saja sedangkan pada rumah baru biasanya air dipercikkan di empat buncu atau empat sisi di dalam rumah.

Dalam pelaksanaannya, air yang dicampur dengan minyak likat baboreh yang memiliki aroma khas dipercikkan ke tubuh individu atau benda sebagai simbol harapan dan doa. Alat pemercik biasanya terbuat dari potongan daun pisang, daun kelapa, atau daun pandan.

Makna dan Nilai Budaya Batapung Tawar: Memiliki makna sebagai doa dan harapan baik kepada Tuhan agar segala sesuatu berjalan lancar dan diberkahi. Awalnya, ritual ini diiringi dengan mantra atau jampi-jampi, tetapi kini lebih banyak dilakukan dengan pembacaan shalawat, doa, dan ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian, tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai ritual sosial tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam.

Pentingnya Pelestarian: Pelestarian tradisi Batapung Tawar sangat penting di tengah perkembangan zaman yang cepat. Masyarakat diajak untuk menjaga warisan budaya ini agar tetap relevan dan dapat memberikan makna bagi generasi mendatang. Sinergi antara tradisi dan teknologi modern diharapkan dapat menciptakan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Secara keseluruhan, Batapung Tawar adalah sebuah tradisi yang kaya akan makna spiritual dan sosial, mencerminkan perjalanan panjang budaya masyarakat Banjar serta adaptasinya terhadap perubahan zaman.

1. Filosofi dan Identitas Budaya Batapung Tawar

Filosofi Batapung Tawar:

Batapung Tawar merupakan tradisi yang kaya akan makna dan filosofi. Tradisi ini berakar dari kepercayaan masyarakat Banjar yang menganggap bahwa ritual ini adalah bentuk permohonan kepada Tuhan untuk mendapatkan berkah dan perlindungan. Prosesnya melibatkan pemercikan air yang telah dicampur dengan minyak likat baboreh, yang memiliki aroma khas, ke tubuh individu atau benda, sebagai simbol harapan dan doa.

Makna Spiritual:

Ritual ini tidak hanya sekadar tradisi, tetapi juga merupakan bentuk pengabdian kepada Tuhan. Dengan membaca shalawat, doa, dan ayat-ayat Al-Qur’an, masyarakat menekankan pentingnya hubungan spiritual dalam setiap kegiatan yang dilakukan.

Akulturasi Budaya:

Meskipun berasal dari tradisi Hindu dan Kaharingan, Batapung Tawar telah mengalami akulturasi dengan nilai-nilai Islam setelah masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi dapat beradaptasi tanpa kehilangan esensinya, dan tetap relevan dalam konteks masyarakat modern.

2. Identitas Budaya

Setiap acara budaya Batapung Tawar tersebut mencerminkan nilai-nilai sosial dan spiritual yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dalam konteks ini, Batapung Tawar berfungsi sebagai pengikat sosial yang memperkuat hubungan antaranggota komunitas.

Warisan Budaya

Sebagai warisan nenek moyang, Batapung Tawar dilestarikan oleh generasi saat ini sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi yang telah ada sejak lama. Masyarakat di Desa Murung Selong, misalnya, masih aktif melaksanakan tradisi ini dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Nilai Pendidikan

Selain aspek spiritual, Batapung Tawar juga mengandung nilai-nilai pendidikan Islam yang mencakup akidah, ibadah, dan akhlak. Ini memberikan teladan bagi generasi muda untuk memahami pentingnya menjaga tradisi sambil tetap berpegang pada ajaran agama.

3. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Budaya Batapung Tawar

Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam budaya batapung tawar di Desa Murung Selong Kelurahan Sungai Lulut meliputi:

a. Pendidikan Akidah (Keimanan).

Dalam budaya Batapung Tawar terdapat nilai-nilai pendidikan akidah yang terkait dengan iman kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW:

Iman kepada Allah SWT:

Ritual Batapung Tawar mencerminkan keyakinan bahwa hanya kepada Allah SWT lah kita memohon keselamatan, perlindungan, dan berkah. Ini menunjukkan pentingnya pengakuan akan kekuasaan Allah dalam kehidupan. Nilai-nilai yang terkandung:

1) Kewajiban beriman kepada Allah SWT.
2) Percaya akan adanya Allah SWT.
3) Hanya kepada Allah SWT lah meminta pertolongan.

Iman kepada Nabi Muhammad SAW:

Proses Batapung Tawar selalu disertai dengan pembacaan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, menunjukkan keyakinan terhadap Rasulullah sebagai utusan Allah. Nilai-nilai yang terkandung:

1) Kewajiban beriman kepada Rasul-rasul Allah.
2) Mencintai Rasulullah setelah mencintai Allah.
3) Bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW sebagai wujud kecintaan kepada beliau.

b. Pendidikan Ibadah

Pada pembahasan pendidikan Ibadah, maka pada budaya batapung tawar ini ditemukan hal yang berkaitan dengan pendidikan ibadah tersebut, yakni do’a. Salah satu bentuk ihktiar dan usaha yang dilakukan manusia adalah melalui do’a. Esensi do’a adalah ibadah dan penghambaan. Seseorang yang memanjangkan tangan permohonan kepada Allah Swt. yang maha pemurah, baik secara praktik dia benar-benar mengangkat tangan atau hatinya tertuju kepada Allah Swt. dan meminta pada-Nya, maka berarti dia telah menghamba kepada- Nya.

Allah akan bukakan pintu do’a dan menjadikannya sebagai penolak takdir dengan seizin-Nya. Ini bukan pendapat atau pengakuan seseorang, tetapi jelas diterangkan oleh hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Tirmidzi. Dalam hadist tersebut jelas dikatakan bahwa tidak ada yang dapat mengubah takdir selain do’a. Hal ini menujukkan bahwa motivasi masyarakat dalam melaksanakan budaya batapung tawar yang berupa do’a dan harapan adalah bukti dari kepercayaan mereka terhadap qadha dan qadar (takdir) dari Allah Swt.

Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa nilai-nilai pendidikan Islam yang terkait do’a yang terkadung dalam budaya batapung tawar, yaitu:

1) Do’a merupakan ibadah dan bentuk penghambaan diri kepada Allah Swt.
2) Selain berusaha dan berikhtiar, manusia juga di tuntut untuk senantiasa berharap dan berdo’a kepada Allah Swt.
3) Doa’ merupakan salah satu yang dapat menolak takdir.

c. Pendidikan Akhlak

Pada pembahasan pendidikan Akhlak, maka pada budaya batapung tawar ini ditemukan dua hal yang berkaitan dengan pendidikan akhlak tersebut, yakni Akhlak kepada Allah Swt. yaitu syukur dan Akhlak kepada Rasulullah Saw. yaitu mencintai dan memuliakan Rasulullah Saw. Akhlak terhadap Allah Swt, Nilai-nilai pendidikan Islam segi akhlak yang terkait akhlak kepada Allah Swt. adalah syukur kepada-Nya. Hal ini dapat dilihat pada motivasi masyarakat dalam melaksanakan budaya batapung tawar adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia atau nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. Syukur adalah sikap berterima kasih atas pemberian nikmat Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan dalam bentuk ucapan dan Perbuatan. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Baqarah ayat 152.

Bersyukur bisa dengan hati, lidah dan anggota tubuh. Syukur dengan hati ialah bermaksud untuk kebaikan dan menyebarkannya kepada semua orang. Syukur dengan lidah ialah menampakkan syukur itu kepada Allah dengan cara memuji-Nya. Syukur dengan anggota tubuh ialah dengan mempergunakan kenikmatan dari Allah untuk taat kepada-Nya dan tidak menggunakannya untuk mendurhakai-Nya. Orang yang suka bersyukur terhadap nikmat atau pemberian Allah Swt. akan ditambah nikmat yang diterimanya, sebagaimana firman Allah Swt. Adapun motivasi masyarakat dalam melaksanakan budaya batapung tawar ini sebagai ungkapan rasa syukur terhadap nikmat atau karunia yang diberikan oleh Allah Swt. kepada mereka, dan ungkapan rasa syukur ini merupakan perwujudan Akhlak mereka terhadap Allah Swt.

Berdasarkan uraian di atas, maka ada dua nilai pendidikan Islam yang terkait akhlak terhadap Allah Swt yang terkandung dalam budaya batapung tawar, yaitu:
a) Sebagai hamba yang beriman kita wajib mensyukuri nikmat atau karunia yang telah diberikan oleh Allah Swt
b) Perwujudan syukur tidak hanya dengan lidah, tetapi juga bisa dengan hati dan anggota tubuh yang lain.

d. Akhlak terhadap Rasulullah Saw.

Nilai-nilai pendidikan Islam segi akhlak yang terkait akhlak terhadap Rasulullah Saw. yakni mencintai dan memuliakan Rasulullah Saw. hal ini dapat dilihat juga pada pada saat proses batapung tawar tersebut. Setiap percikkan air tapung tawar dibarengi dengan shalawat kepada nabi Muhammad Saw.

Di samping akhlak terhadap Allah Swt., sebagai seorang muslim kita juga harus berakhlak terhadap Rasulullah Saw. keharusan yang kita tunjukkan dalam akhlak yang baik kepada Rasul adalah mencintai beliau setelah kecintaan kita kepada Allah Swt. Selain mencintai Rasulullah Saw. seorang hamba juga harus memuliakannya dengan cara bershalawat kepadanya. Allah Swt. dan para malaikat-Nya telah bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw., dan Allah Swt. telah memerintahkan kepada para hamba-Nya agar mengucapkan shalawat dan taslim kepada beliau. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Ahzab ayat 56 yang menjelaskan, Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.

Allah telah menyebutkan tentang kedudukan Nabi Muhammad Saw. pada tempat yang tertinggi, bahwa sanya dia memujinya dihadapan para malaikat-Nya, dan bahwa para malaikat pun mendo’akan untuknya, lalu Allah Swt. memerintahkan segenap penghuni alam ini untuk mengucapkan shalawat dan salam atasnya, sehingga bersatulah pujian untuk beliau di alam yang tertinggi dengan alam terendah (bumi).

Dalam pelaksanaan budaya batapung tawar di samping terdapat nilai-nilai pendidikan Islam ada juga terdapat nilai negatif yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yaitu masyarakat masih mengikuti budaya nenek moyang atau orang bahari , jika dalam mengikuti budaya nenek moyang ini tidak dibarengi dengan pendidikan akidah yang benar hal ini dapat menjadi peluang timbulnya unsur- unsur syirik atau menyekutukan Allah Swt. dengan selainnya.

Syirik juga diartikan sebagai perbuatan dengan adanya anggapan atau keyakinan bahwa selain Allah ada yang mempunyai kekuasaan mutlak yang menandingi kekuasaan Allah, atau bukan Allah saja yang mempunyai kekuasaan mutlak. Sehingga Allah tidak akan mengampuninya kecuali yang bersangkutan mohon ampun dan bertaubat tidak akan mengulangi lagi perbuatan itu. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Q.S. an-Nisa ayat 48.

Hal tersebut seharusnya perlu berhati-hati sehingga nilai-nilai Islam lah yang harus dikembangkan dalam proses budaya batapung tawar. Apabila hal tersebut dipahami oleh generasi penerus secara turun temurun akan menyebabkan hilangnya nilai-nilai aqidah, berganti pada nilai-nilai takhayul yang berkembang di masyarakat.

SIMPULAN

Budaya Batapung Tawar merupakan tradisi yang mengandung nilai-nilai spiritual, sosial, dan pendidikan Islam yang dalam. Ritual ini bukan hanya sebagai upacara budaya, tetapi juga mencerminkan pengabdian kepada Tuhan, dengan mengandung nilai akidah, ibadah, dan akhlak. Meskipun telah mengalami akulturasi dengan nilai-nilai Islam, tradisi ini tetap menjadi bagian integral dari identitas budaya masyarakat Banjar. Pelestarian budaya ini sangat penting, namun harus dilakukan dengan tetap menjaga prinsip-prinsip ajaran Islam agar tidak terjadi pergeseran nilai yang dapat menjerumuskan pada praktek syirik atau takhayul. Oleh karena itu, pendidikan akidah yang benar harus diterapkan dalam pelaksanaan tradisi ini agar nilai-nilai luhur dapat terus dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang.

 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Nahlawi. Abdrurrahman, Prinsip-prinsip dan Metode Penelitian Islam Bandung: CV Diponegoro, 1996.

Abu Zakaria Yahya bin Syaraf Annawawi, Riyadhus Shalihin, Surabaya: Dar al-Kitab al-Islam, tth.

Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 1994 M/ 1414 H.

Departemen Agama RI, Pola Pembinaan Pendidikan Agama Islam Terpadu , Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999.

Fatih. Andhika, Adat dan Budaya Masyarakat Banjar , Yogyakarta: Wadah Ilmu, 2014.

Ibnu Qudamah, Minhajul Qashidin , diterjemahkan oleh Kathur Suhardi dengan judul Minhajul Qashidin (Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk) , Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000.

Taqi Mishbah Yazdi. Muhammad, 22 Nasihat Abadi Penghalus Budi, Terj. Abdillah Ba’abud, Jakarta: Penerbit Citra, 2012.

Abdussamad. Zuchri, Metode Penelitian Kualitatif , Makassar: Syakir Media Press, 2021.