Rissari Yayuk
Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan
Abstrak
Masyarakat Kalimantan Selatan dominan terdiri atas suku Banjar. Suku Banjar berasal dari masyarakat asli Kalimantan dan masyarakat pendatang. Budaya dan religi yang memengaruhi Masyarakat Banjar telah membentuk sistem kehidupan tersendiri yang mengandung nilai-nilai tradisional maupun modern. Nilai-nilai tersebut merupakan cerminan dari tata kehidupan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Sastra lisan adalah salah satu data budaya yang menggambarkan kandungan nilai tersebut. Hingga sekarang tradisi lisan masyarakat Banjar sebagian masih berlangsung dan sebagian lagi sudah bergeser.
Perubahan zaman adalah faktor yang menyebabkan bergesernya tradisi tersebut. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi pendukung utama pula yang menyebabkan tradisi lisan di masyarakat Banjar sedikit-demi sedikit terpinggirkan. Padahal sekali lagi, dari tradisi tutur telah melahirkan sastra lisan yang kaya nilai, baik nilai sosial maupun religi. Membutuhkan upaya yang keras untuk bisa menjadikan sastra lisan tersebut dapat terpelihara dan terdokumen dengan apik. Sehingga data sastra lisan masyarakat Banjar bisa diwujudkan dalam bentuk naskah tulis yang bisa dijadikan bahan pengetahuan maupun rujukan budaya bagi generasi selanjutnya. Tuturan lisan ini diwariskan dari generasi ke generasi.
Ada banyak sastra lisan yang ada dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya, baik puisi maupun prosa. Dalam tulisan ini penulis mengemukakan empat bentuk sastra lisan berbentuk nonprosa sebagai folklor daerah Banjar. Empat tuturan lisan yang tidak memiliki aksara tulis pada zaman dulu ini meliputi, pamali, tatangar, mantra dan ungkapan. Keempat jenis sastra lisan ini sangatlah penting dijaga kelestariannya, baik lewat dokumentasi maupun sosialisasi. Fungsi yang ada dalam kalimat pamali misalnya yang dilantunkan oleh para tetua “Banjar” ini antara lain sebagai penebal emosi keagamaan atau kepercayaan. Hal ini disebabkan manusia yakin akan adanya kekuatan supranatural yang berada di luar alam mereka. Atau masyarakat Banjar memang pada umumnya sangat kental akan pengaruh agama Islam dan kepercayaan lainnya. Berikutnya, lewat mantra dapat digali nilai budaya yang lebih mendalam yaitu kepercayaan atau religi serta kebergunaannya. Demikian pula ungkapan, di dalamnya mengandung nilai moral dan sosial dalam kehidupan masyarakat Banjar.
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Secara umum, menurut Duranti (1971: 1) bahasa merupakan bagian terpenting dari kebudayaan dan dipandang sebagai alat sosial, modus berpikir, dan praktik budaya. Bahasa memiliki dua fungsi utama. Pertama, memadukan sistem pengetahuan dan kepercayaan sebagai dasar tingkah laku budaya. Kedua, menjadi sarana transmisi dan juga transformasi budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, bahasa dan budaya saling terkait erat dan lekat dan hubungan keduanya bersifat dinamis dan saling memengaruhi.
Di samping itu, menurut Sapir-Whorf, bahasa pertama menentukan pola pikir dan tingkah laku kita dalam interaksi verbal. Dengan kata lain, bahasa ikut menentukan modus budaya. Selain itu, kepercayaan dan nilai budaya sering bersifat lokal dan terungkap secara khas pada bahasa setempat.
Selanjutnya, P. W. J. Nababan (dalam Hidayat 2006: 29), seorang linguis Indonesia, membagi fungsi bahasa sebagai komunikasi dalam kaitannya dengan masyarakat dan pendidikan menjadi empat fungsi, yaitu 1) fungsi kebudayaan, 2) fungsi kemasyarakatan, 3) fungsi perorangan, dan 4) fungsi pendidikan.
Bahasa Banjar merupakan bahasa pertama atau bahasa ibu bagi suku Banjar. Bahasa ini menjadi lingua franca bagi penduduk Kalimantan Selatan pada umumnya. Jika dilihat dari segi fungsinya, Bahasa Banjar hingga sekarang masih eksis sebagai unsur budaya yang menunjukkan identitas masyarakat Banjar. Bahasa ini juga berperan penting dalam hubungan komunikasi dalam masyarakat Kalimantan Selatan yang berasal dari ragam suku.
Dalam kehidupan domestik atau perorangan suku Banjar pun bahasa ini digunakan sebagai sarana yang handal dalam mengungkapkan segala sesuatu. Aneka sastra lisan maupun tuturan sehari-hari yang menggunakan bahasa Banjar pun mengandung nilai-nilai lokal sebagai wujud edukasi akan budaya yang bersistem dari masyarakat Banjar.
1.2 Masalah
Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah tentang deskripsi empat sastra lisan dalam bahasa Banjar dan nilai budaya yang dikandung dalam sastra tersebut.
1.3 Landasan Teori
Koentjaraningrat (1984:25) mengatakan bahwa nilai budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam kehidupan. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai budaya yang dapat mendorong pembangunan, khususnya pembangunan watak adalah gotong-royong, musyawarah, adil, dan suka menolong.
Pemahaman sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan, sedikit banyaknya mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebut dan tidak langsung terungkap dalam sistem tanda bahasanya. Pemisahan konvensi budaya dari konvensi bahasa dan sastra sering kali tidak mudah atau tidak mungkin dilaksanakan, karena banyaknya konvensi budaya telah banyak terkandung dalam sistem bahasa dan sastra (Teeuw, 1984:100).
Sastra lisan yang dimiliki masyarakat Banjar beragam. Empat diantaranya adalah Ungkapan, Mantra, Pamali, dan Tatangar. Keempat karya ini merupakan hasil pengejawantahan masyarakat Banjar terhadap lingkungannya. Sebagai sebuah karya satra lisan, tentu di dalamnya mengandung nilai budaya yang sangat berharga sebagai salah satu referensi sikap yang positif.
Unsur nilai-nilai di dalam karya sastra dapat dijadikan pedoman dalam pembinaan hidup sehari-hari. Ajaran di dalamnya dapat memperkaya batin bangsa. Hal semacam itu pernah dikemukakan pada Seminar Pengembangan Sastra bahwa masalah yang dihadapi pemerintah dewasa ini adalah masalah pembinaan mental. Salah satu cara adalah dengan penghayatan karya sastra, khususnya sastra lama, karena karya sastra mengungkapkan rahasia kehidupan yang dapat memperkaya batin kita. Melalui karya sastra itu kita dapat lebih mencintai dan membina kehidupan secara lebih baik dalam masyarakat (Ali, 1975:5).
Nilai budaya dapat meliputi nilai moral individual, sosial, nilai religi. Nilai moral menyangkut hubungan manusia dengan kehidupan diri pribadi sendiri atau cara manusia memperlakukan diri pribadi. Nilai moral tersebut mendasari dan menjadi panduan hidup manusia yang merupakan arah dan aturan yang perlu dilakukan dalam kehidupan pribadinya. Adapun nilai moral individual, meliputi: (1) kepatuhan, (2) pemberani, (3) rela berkorban, (4) jujur, (5) adil dan bijaksana, (6) menghormati dan menghargai, (7) bekerja keras, (8) menepati janji, (9) tahu Balas Budi, (10) baik budi pekerti, (11) rendah hati, dan (12) hati-hati dalam bertindak.
Nilai sosial itu terkait hubungan manusia dengan manusia yang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam melakukan hubungan tersebut, manusia perlu memahami norma-norma yang berlaku agar hubungannya dapat berjalan lancar atau tidak terjadi kesalahpahaman. Manusia pun seharusnya mampu membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk dalam melakukan hubungan dengan manusia lain. Adapun nilai-nilai sosial tersebut, meliputi: (1) bekerjasama, (2) suka menolong, (3) kasih sayang, (4) kerukunan, (5) suka memberi nasihat, (6) peduli nasib orang lain, dan (7) suka mendoakan orang lain.
Nilai religi pada dasarnya merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya. Salam (1997:15) mengemukakan bahwa akhlak atau moralitas manusia kepada Tuhan di antaranya: (1) beriman; meyakini bahwa sesungguhnya Dia ada, (2) taat; menjalankan perintah dan menjahui larangan-Nya, (3) ikhlas; kewajiban manusia beribadah kepada-Nya dengan ikhlas dan pasrah, (4) tadlarru’ dan khusyuk; dalam beribadah hendaklah sungguh-sungguh, merendahkan diri serta khusyuk kepada-Nya, (5) ar-raja’; mempunyai pengharapan atau optimisme bahwa Allah akan memberikan rahmat kepada-Nya, (6) husnud-dhan; berbaik sangka kepada Allah, (7) tawakal; mempercayakan sepenuhnya kepada Allah, (8) bersyukur kepada Allah, dan (9) taubat dan istigfar.
1.4 . Metode dan Teknik
Metode penelitian ini adalah metode deskriptif, suatu pemaparan yang menjelaskan hubungan antardata yang diperoleh dari kepustakaan dan yang menjadi objek penelitian (Effendi, 1979:4).
2. Pembahasan
2.1 Bentuk Sastra Lisan dalam Bahasa Banjar
2.1.1 Mantra
Mantra memang tidak dikenal dalam masyarakat Banjar khususnya pada zaman dahulu akan tetapi mereka menyebut mantra dengan sebutan bacaan. Bacaan yang dimaksudkan adalah berisi kekuatan yang dapat merealisasikan kehendak dari yang mengucapkannya. Karena itulah bacaan ini sangat berharga dan disimpan baik-baik sebagai barang yang tak ternilai sebab digunakan di waktu-waktu tertentu saja. Mantra dalam masyarakat Banjar terdiri atas mantra untuk diri sendiri seperti untuk mempercantik diri dan mantra untuk orang lain seperti untuk menundukkan atau mengobati orang lain. Salah satu contoh mantra yang digunakan untuk orang lain (merias pengantin) sebagai berikut:
Pur sinupur (Pur sinupur)
Bapupur di mangkuk karang (Berbedak di mangkok karang)
Bismillah aku mamupuri si… (Bismillah aku memupuri si…) (disebut namanya)
Marabut cahaya si bulan tarang (Merebut cahaya si bulan terang)
Mantra ini dibaca oleh juru rias pada saat akan melakukan tugasnya. Mantra ini ditiupkan ke wajah pengantin, tidak boleh melalui mulut tetapi dengan nafas atau hembusan hidung. Hal ini disebabkan mulut manusia bisa berdusta atau mengucapkan kata-kata yang tidak baik; sedang nafas atau hidung tidak pernah berdusta. Dengan membaca mantra ini diharapkan wajah pengantin setelah selesai dirias akan terlihat bercahaya seperti bulan terang (bulan purnama).
2.1.2 Pamali
Pamali yang dianggap takhayul ini sangat luas penyebarannya di kalangan masyarakat Banjar. Pamali merupakan larangan dalam salah satu golongan besar yang berhubungan dengan masalah hidup manusia. Dalam kalimat pamali ini mengandung nilai-nilai tradisional maupun modern yang sangat tepat untuk dilestarikan keberadaannya meskipun sebagian besar kalimat pamali terasa mengandung ketakhayulan , akan tetapi justru di balik “kepamalian” yang ada dalam tuturan lisan masyarakat Banjar memiliki sesuatu yang tersembunyi dari segi tujuan atau manfaat yang disesuaikan dengan pengadaptasian power nalar yang ada. Contoh pamali, yaitu
Pamali duduk di tangga, bisa ngalih baranak (Jangan duduk di tanggga, nanti sulit melahirkan)
Pamali maandak wancuh di dalam panci nang batutup, bisa ngalih baranak (Jangan meletakkan sendok nasi di dalam panci tertutup, nanti sulit melahirkan)
Pamali mangantup lawang, lamari atawa lalungkang, parahatan ada nang handak baranak, bisa ngalih baranak (Jangan menutup pintu, lemari atau jendela, saat ada yang mau melahirkan, nanti sulit melahirkan)
2.1.3 Tatangar
Tatangar merupakan bagian dari sistem kepercayaan masyarakat Banjar. Simbol, ciri atau tanda ini menurut para penuturnya dianggap sebagai sebuah firasat yang mengandung makna tertentu. Kalimat tatangar ini mengandung nilai-nilai tradisional maupun modern yang sangat tepat untuk dilestarikan keberadaannya meskipun sebagian besar kalimat tatangar terasa mengandung ketakhayulan , akan tetapi justru di balik “ketatangaran” yang ada dalam tuturan lisan masyarakat Banjar memiliki sesuatu yang tersembunyi dari segi tujuan atau manfaat. Contoh tatangar yaitu
Bila baras dikarubuti samut, sangkaannya harga baras cagar naik (Bila beras dikerebuti semut, pertanda harga beras bakal naik)
Bila kelalawar masuk rumah, tandanya ada urang nang handak baniat jahat (Bila kelelawar masuk ke dalam rumah, tandanya ada orang yang akan berniat jahat)
Bila kita menabrak kucing hingga terluka, maka si penabrak akan kena penyakit berat, kecuali kucing tersebut diobati sampai sembuh
2.1.4 Ungkapan
Ungkapan itu lahir dari pengalaman-pengalaman hidup seseorang dan diterjemahkan sebagai sesuatu yang memilki nilai dalam pandangan dan pikiran selanjutnya mampu ditransformasikan kepada orang lain. transformasi yang berbentuk tradisional yang pada gilirannya dimiliki oleh generasi berikutnya “ (Syamsiar Seman , Banjarmasin post, 6 Mei 1995).
Contoh ungkapan dalam bahasa Banjar, seperti ada buntutnya (ada ekornya) dalam bahasa Indonesia secara gramatikal berarti ekor yang dimiliki oleh seekor hewan. Tetapi ada buntutnya selain memilki makna gramatikal seperti di atas, juga mempunyai makna lain yang tidak menurut kaidah gramatikal tersebut, yaitu telah mempunyai anak atau kelanjutan dari suatu perselisihan
Contoh lain dalam bahasa Banjar adalah, takana daging saurang (terkena daging sendiri) menurut kaidah umum gramatika bahasa Indonesia berarti melukai daging sendiri. Tetapi takana daging saurang ‘terkena daging sendiri’ dalam bahasa Indonesia tidak hanya mempunyai makna menurut kaidah gramatika tersebut, tetapi juga berarti menyakiti keluarga sendiri .
2.2 Nilai Budaya Dalam Sastra Banjar
2.2.1 Nilai Moral
Nilai moral menyangkut hubungan manusia dengan kehidupan diri pribadi sendiri atau cara manusia memperlakukan diri pribadi. Nilai moral tersebut mendasari dan menjadi panduan hidup manusia yang merupakan arah dan aturan yang perlu dilakukan dalam kehidupan pribadinya. Nilai moral yang terdapat dalam keempat sastra lisan yang dimaksud di sini meliputi kandungan makna dalam keempat sastra atau fungsi yang terdapat dalam sastra Banjar.
Mantra
Manangkal Parbuatan Jahat Urang Lain
Bismillahirrahmanirrahim (Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Ruh kayu runggang raya (Roh kayu berongga besar)
Putar tulak putar tilik (Putar tolak putar intip)
Putar mantuk (putar pulang)
Mantuklah kepada si … (pulanglah kepada si …)
(urang nang maulah/ mangaluarakan ilmu (maksudnya orang yang membuat/ mengeluarkan ilmu jahat)
nang babuat (yang berbuat)
Barakat La ilaha illallah (Berkat tiada Tuhan melainkan Allah)
Muhammadarasulallah (Muhammad utusan Allah)
Mantra ini dibaca oleh orang yang ingin terhindar dari perbuatan jahat orang lain (ilmu hitam) saat bepergian ke suatu tempat. Mantra ini dibaca sebanyak tiga kali saat hendak keluar rumah waktu berada di ambang / depan pintu rumah dan dibaca lagi tiga kali saat mulai memasuki daerah / kampung yang dituju. Dengan membaca mantra ini diharapkan orang yang membacanya terhindar dari perbuatan jahat orang lain atau ilmu hitam saat bepergian ke daerah atau kampung tertentu.Nilai moral pada mantra ini adalah keberanian. Pembaca mantra berani menangkal suatu perbuatan yang memiliki kekuatan jahat.
Pamali
Pamali bacaramin sambil barabah, bisa karindangan saurangan (Jangan bercermin sambil berbaring, bisa kasmaran sendiri)
Umumnya pamali ini ditujukan kepada kaum wanita yang belum menikah. Mereka dilarang bercermin sambil berbaring sebab hal itu diyakini bisa menyebabkan pelakunya kasmaran sendiri.
Bercermin sambil berbaring kurang baik, dikhawatirkan cermin yang digunakan tersebut bisa jatuh dan menimpa wajah, akibatnya wajah akan terluka terkena pecahan cermin. Dikaitkan dengan logika, pamali ini tidak bisa diterima akal. Kalimat bisa karindangan saurangan sengaja disertakan penutur pamali sebagai peringatan terhadap gadis yang suka menyia-nyiakan waktu dengan banyak bercermin. Melalui pamali ini secara tidak langsung orang tua mendidik anak gadisnya agar memanfaatkan waktu dengan baik. Nilai moral yang terkandung dalam pamali ini adalah kehati-hatian.
Tatangar
Batang paring bacagat di tangah banyu, tandanya ada urang mati tinggalam (Batang bambu tegak di tengah air, tandanya ada orang mati tenggelam)
Masyarakat Kalimantan tidak lepas dengan air sungai atau banjir. Biasanya bila air melimpah deras apa saja benda bisa larut. Batang bambu sering dijumpai di sekitar aliran air. Patahan batang bambu ini sering pula timbul tenggelam mengikuti aliran air yang membawanya. Apabila batang bambu tersebut terlihat tegak di tengah derasnya air, tandanya ada yang mati tenggelam. Masyarakat Banjar sebagiannya mempercayai tatangar ini.
Benar atau tidaknya mesti kita ambil pelajarannya. Sebagai bagian dari masyarakat yang dominan berada di lingkungan air, hendaknya hati-hati dan waspada menjaga harta, diri dan keluarga, serta tidak lupa meminta perlindungan pada Allah. Tatangar ini mengandung nilai moral kehati-hatian.
Ungkapan
batis kada bamata (kaki tidak bermata)
Ungkapan ini berisi anjuran agar kita hati-hati dalam melangkah dalam kehidupan. Nilai moral kehati-hatian dan nasihat terdapat dalam ungkapan ini.
2.2.2 Nilai sosial
Nilai sosial itu terkait hubungan manusia dengan manusia yang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam melakukan hubungan tersebut, manusia perlu memahami norma-norma yang berlaku agar hubungannya dapat berjalan lancar atau tidak terjadi kesalahpahaman. Manusia pun seharusnya mampu membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk dalam melakukan hubungan dengan manusia lain.
Nilai sosial yang terdapat dalam empat sastra lisan Banjar ini berkaitan dengan peduli terhadap orang lain. Kepedulian merupakan hal yang sungguh patut terus dipupuk oleh setiap orang agar selalu terjalin rasa kebersamaan yang positif. Dari empat sastra lisan ini, nilai budaya yang dimaksud dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti fungsinya maupun maknanya. Nilai sosial yang dimaksud dapat dilihat pada contoh berikut.
Mantra pelasik (pulasit)
Atma saupi (Atma saupi)
Aku tahu asal ikam (Aku tahu asalmu)
Karak naraka jahanam (Kerak neraka jahanam)
Nuna, nuni (Nuna, nuni)
Aku tahu asal ikam (Aku tahu asalmu)
Kerak kuriping api naraka (Kerak dasar api neraka)
Balari ikam ka sisi alam (Menyingkir kamu ke sisi alam)
Kalu kada lari kusumpahi (Kalau tidak menyingkir, akan kusumpah)
Ah! Balunta (Ah! Balunta)
Mantra ini biasanya dibaca oleh orang ‘pintar” khusus penyembuh penyakit pulasit dengan harapan si penderita segera terbebas dari deritanya. Mantra pelasik digunakan oleh ahli pengobatan yang dengan sigap akan menangani derita orang yang terkena pulasit ini.
Pamali
Pamali mahirup gangan di wancuh, calungap sandukan (Jangan menyeruput kuah sayur di sendok nasi, suka menyela pembicaraan orang)
Pamali ini menyatakan larangan menyeruput kuah sayur dengan menggunakan sendok nasi sebab hal ini bisa menyebabkan pelakunya menjadi orang yang suka menyela pembicaraan orang. Pamali ini ditujukan kepada semua orang, baik laki-laki maupun perempuan.
Pada masyarakat Banjar, sayur yang akan disantap bersama biasanya diletakkan dalam satu wadah beserta sendok nasi. Jika ada seseorang yang menyeruput kuah sayur tersebut dengan menggunakan sendok nasi itu, artinya sayur yang di dalam wadah tersebut bekas mulutnya.
Kuatnya pengaruh pamali ini pada masyarakat penuturnya menyebabkan mereka tidak berani melanggar larangan ini. Mereka khawatir jika larangan ini dilanggar, mereka akan menjadi orang yang suka menyela pembicaraan orang. Orang yang suka menyela pembicaraan orang lain biasanya akan dijauhi dari pergaulan.Perbuatan menyela merupakan sesuatu hal yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Rasa tidak menghargai orang lain tergambar di sini jika kita suka menyela pembicaraan.
Larangan ini sekaligus mengandung nasihat agar peduli akan kebersihan makanan. Makanan yang sudah kotor akibat mulut kita sangat tidak baik bagi orang lain yang menggunakan sendok yang sama saat menganbil sayur tersebut.
Tatangar
Bila bamimpi batamu urang nang sudah mati kalihatan marista atawa maririgat tapi kada bapander, tandanya aruwahnya minta dikirimi pahala. (Bila bermimpi bertemu orang yang sudah meninggal, terlihat memberi kasihan atau kotor, tetapi tidak berbicara, pertanda arwahnya minta dikirimi doa atau pahala)
Jika orang yang sudah meninggal dunia datang ke mimpi seseorang tanpa berbicara, diyakini bahwa sebenarnya roh orang tersebutlah yang datang. Jika rohnya tersebut tampak sedih atau kotor, maka para penutur wahana atau tatangar ini yakin bahwa roh tersebut tengah tersiksa di akhirat sehingga perlu didoakan agar arwahnya menjadi tenang.
Dengan adanya sugesti yang kuat terhadap wahana atau tatangar ini, diharapkan para penuturnya dapat lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dengan mendoakan arwah tersebut, berarti dia juga telah mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, misalnya dengan membaca doa dari ayat-ayat Al Quran.
Dengan demikian, anjuran ini mengandung nasihat agar peduli kepada orang sekitar yang sudah meninggal. Cara pedulinya dengan mendoakan orang tersebut.
Ungkapan
Ringan hati (ringan hati) atau ringanan tangan
Ungkapan ini mengandung makna orang yang suka menolong orang lain. Rasa peduli akan kesulitan orang lain diungkapkan dengan ungkapan ini. Hati yangs selalu senang memberi pertolongan mengambarkan rasa kepedulian yang tinggi terhadap pihak lain.
2.2.3 Nilai religi
Nilai religi pada dasarnya merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya.Nilai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Mantra
Mantra agar taguh lawan wanyi ‘mantra kebal terhadap lebah’
Bismillahirrahmanirrahim (Dengan nama Allah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Asal dari kajadian wanyi adalah karak nasi (Asal terjadinya tawon dan sejenisnya adalah dari kerak nasi)
Barakat La ilaha illallah (Berkat tiada Tuhan, melainkan Allah)
Muhammadar Rasulullah (Muhammad utusan Allah)
Mantra ini dibaca oleh orang yang ingin kebal terhadap gigitan segala jenis tawon. Dengan membaca mantra ini diharapkan segala macam jenis tawon tidak akan berselera menggigit dan kalaupun menggigit, insya Allah tidak akan membahayakan. Mantranya dibaca satu kali sebelum melewati sarang tawon sambil ditiupkan ke arah sarang tersebut sebanyak tiga kali. Mantra ini menggambarkan nilai religi akan kepercayaan terhadap Tuhan. Keyakinan yang kuat bahwa melalui ucapan mantra yang bernilai religi ini akan melindunginya dari sengatan lebah.
Pamali
Pamali guring imbah Asar, kaina pas tuha bisa gagilaan (pantang tidur setelah ashar, nanti setelah tua bisa kurang ingatan)
Pamali ini digunakan sebagai nasihat tersirat yaitu jangan tidur setelah ashar bisa gila sewaktu tuanya. Kalimat ini sebenarnya menganjurkan kita agar memelihara perilaku tidak sepantasnya di waktu menjelang magrib. Sebab apabila kita tidur di waktu menjelang magrib jangan-jangan ketiduran sampai magrib bahkan Isya. Lalu bagaimana ada waktu lagi dengan bersih-bersih diri, shalat dan aktivitas ibadah sesudah ashar. Berangkat dari hal inilah kalimat pamali ini terlahir dengan tujuan yang baik. Agar para pendengar pamali kalimat ini menjadi patuh dan menyadari akan makna dari kalimat ini.
Tatangar
Bila sanja kalihatan kuning, tandanya urang malapas wisa (Bila senja terlihat kuning, tandanya orang melepas penyakit gaib)
Di tengah masyarakat Banjar hingga sekarang dikenal senja kuning. Senja ini memiliki cuaca yang kekuning-kuningan. Biasanya dari atas langit hingga ujung langit bias matahari yang bewarna kuning tersebut terlihat menyelimuti alam sekitarnya. Senja yang agak tidak biasanya ini menciptakan pernyataan lisan tentang hubungan senja dengan penyakit yang tidak wajar.
Nasihat yang dapat kita ambil dari tatangar ini adalah jangan keluar di waktu senja. Magrib masuk menjelang malam. Sebaiknya kita sembahyang dahulu daripada keluar rumah.
Ungkapan
dijamak jibril (dijamak jibril)
Ungkapan ini menjelaskan seseorang yang dapat keberuntungan dengan tidak disangka-sangka, Unsur religi di sini tergambar dalam ungkapan tersebut. Masyarakat Banjar mengibaratkan Jibril sebagai malaikat yang membawa rahmat dari Tuhan.3.
KESIMPULAN
3.1 Simpulan
Masyarakat Kalimantan Selatan dominan terdiri atas suku Banjar. Suku Banjar berasal dari masyarakat asli Kalimantan dan masyarakat pendatang. Budaya dan religi yang mempengaruhi masyarakat Banjar telah membentuk sistem kehidupan tersendiri yang mengandung nilai-nilai tradisional maupun modern. Nilai-nilai tersebut merupakan cerminan dari tata kehidupan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan.
Sastra lisan adalah salah satu data budaya yang menggambarkan kandungan nilai tersebut. Tuturan lisan ini diwariskan dari generasi ke generasi. Empat tuturan lisan yang tidak memiliki aksara tulis pada zaman dulu ini meliputi, pamali, tatangar, mantra dan ungkapan.
Keempat jenis sastra lisan ini sangatlah penting dijaga kelestariannya, baik lewat dokumentasi maupun sosialisasi. Kandungan nilai budaya yang meliputinya terdiri atas nilai moral, sosial, dan religi.
3.2 Saran
Semoga peneliti lainnya yang peduli akan kesusastraan lisan daerah dapat mengkaji lebih dalam lagi mengenai sastra lisan Banjar ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 2002. Kamus Besar bahasaIndonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Chaer, Abdul dkk.1997. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka
Durasit, Durdje dan Kawi, Djantera. 1978. Bahasa Banjar. Jakarta: Pusat Bahasa
Durasit, Durdje dkk. Morfologi dan Sintaksis Bahasa Banjar. Jakara: Pusat Bahasa.
Ismail, Abdurrahman dkk.1996.Fungsi Mantra dalam Masyarakat Banjar . Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Maswan, Syukrani dkk. 1985. Arti Perlambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam Menanamkan Nilai-Nilai Budaya Daerah Kalimantan Selatan.Banjarmasin: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Mugeni, Muhammad dkk. 2006. Pamali Banjar. Banjarmasin: Balai Bahasa Banjarmasin.
Musdalifah dkk. 2008. Kamus Bahasa Banjar Dialek Hulu-Indonesia, Banjarmasin
Mugeni, Muhammad dkk. 2008. Kamus Indonesia-Banjar Dialek Kuala, Grafika Wangi Kalimantan: Banjarmasin
Saleh, M. Idwar, ddk. 1977. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Usman, Gazali dkk. 1993. Upacara Tradisional Upacara Kematian Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian, Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
Umar, A Rasyidi. 1977. Unsur Magis dalam Puisi Daerah Banjar. Banjarmasin: Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan.
Verhaar, J.W.M. 1981. Pengantar Linguistik. Yokyakarta: Gajah Mada University Press.