Hubungan Kesultanan Banjar dengan Kesultanan Kotawaringin

Hubungan Kesultanan Banjar dengan Kesultanan Kotawaringin

Putra Sultan Banjar Pendiri Kesultanan Kotawaringin

Kesultanan Banjar tidak dapat dipisahkan dengan Kesultanan Kotawaringin (Kutaringin), Kalimantan Tengah sekarang. Sejak masa berkuasanya Sultan Banjar ke-4, yaitu Sultan Mustain Billah (Marhum Panembahan), antara Kesultanan Banjar dengan Kutaringin terbangun hubungan yang sangat erat, karena putranya menjadi sultan di sana. Dengan demikian Kutaringin pada hakikatnya menjadi bagian atau perpanjangan dari wilayah Kesultanan Banjar.

Bagi Kesultanan Kutaringin, istilah sultan hanya digunakan dalam birokrasi internal Kesultanan Kutaringin dan dalam hubungan dengan dunia luar selain Kesultanan Banjar. Sementara ketika berhubungan dengan Kesultanan Banjar, semua Sultan Kutaringin menyebut dirinya sebagai Pangeran saja. Hal itu karena mereka menganggap dirinya sebagai raja muda, sedangkan para raja (sultan) berkedudukan di Kesultanan Banjar sebagai saudara tua. Para pangeran/sultan di Kutaringin adalah keturunan dari Sultan Banjar ke-4 yaitu  Sultan Mustain Billah.

Itulah sebabnya kebangkitan Kesultanan Banjar yang dipimpin oleh Sultan Khairul Saleh juga disambut baik oleh para pangeran keturunan Kesultanan Kotawaringin. Ketika Milad Kesultanan Banjar dilaksanakan, hampir selalu ada utusan dari Kesultanan Kotawaringin yang datang.

Sumpah Darah 

Di dalam buku “Sejarah Singkat Kesultanan Kutaringin dan Silsilah Raja-Raja Kutaringin” yang diterbitkan oleh Kekerabatan Bosar Kesultanan Kutaringin (2012) diceritakan bahwa Sultan Banjar ke-4 Mustain Billah memiliki dua orang putra, yaitu Pangeran Adipati Antakusuma bergelar Pangeran Bengawan dan Pangeran Adipati Tuha bergelar Pangeran Inayatullah. Setelah pangeran yang disebut terakhir ini diangkat menjadi Sultan Banjar ke-5 bergelar Sultan Inayatullah, maka Pangeran Adipati Antakusuma secara sukarela meninggalkan istana di Martapura.

Ia bertolak ke arah Barat untuk mencari wilayah yang dapat dijadikan sebagai kerajaan baru, sebagai perpanjangan dari Kesultanan Banjar. Bersama rombongannya kemudian melakukan perjalanan laut ke arah Barat dan sempat singgah di beberapa tempat seperti Sebangau, Mendawai, Sampit, Kuala Pembuang dan lainnya. Akhirnya ia dan rombongan tiba di Rantau Pulut, bagian hulu Sungai Seruyan. Karena sungai sempit dan dangkal, yang tidak memungkinkan untuk dilewati perahu besar, akhirnya rombongan ini naik ke darat. Mereka melewati desa Sambi sambil menyeberangi anak Sungai Arut, sampai kemudian ke desa Pandau, dan bertemu dengan suku Dayak Arut.

Catatan sejarah “Mengenang Lahirnya Kerajaan Kotawaringin dan Kabupaten Kotawaringin Barat”, yang diterbitkan oleh Setwilda Kobar (2001), menerangkan bahwa pemimpin masyarakat Dayak setempat saat itu adalah Demang Petinggi (Patih Petinggi Diumpang). Sebagai kepala Suku Dayak ia menyerukan kepada rakyatnya agar menerima rombongan Pangeran Adipati Antakasuma dengan baik.

Seruan ini didasarkan keinginan untuk mengangkat Pangeran Adipati sebagai raja tapi dengan syarat harus memperlakukan masyarakat bukan sebagai hamba, tetapi sebagai saudara yang baik, dengan kedudukan yang sejajar, dalam arti rakyat tidak akan menyembah sujud ke hadapan Pangeran Adipati. Usulan ini kemudian disetujui oleh Pangeran dan seluruh rombongan. Selepas persetujuan itu, dari pihak Suku Dayak Arut mengusulkan agar perjanjian ini bukan sekedar di bibir, melainkan harus bermaterai “darah” manusia yang diambil dari seorang dari Suku Dayak Arut dan seorang dari rombongan Pangeran Adipati Antakesuma.

Perjanjian itu dinamakan Panti Darah Janji Samaya yang berarti perjanjian yang dikokohkan dengan kucuran darah yang dicampur jadi satu. Percampuran darah yang disaksikan kedua pihak ini dimaksudkan untuk mempersatukan segala rasa dan pikiran dalam mewujudkan rencana bersama membangun kerajaan. Kedua orang yang bersedia mengorbankan dirinya itu kemudian dikuburkan dan di atas pusaranya ditaruh batu yang disebut “Batu Petahan”. Selanjutnya Pangeran Adipati Antakusuma menganugerahkan benda pusakanya untuk Patih Petinggi berupa serompang bakurung, batung batulis, waluh Banjar dan sangkuh canggah.

Mencapai Kemajuan

 Atas kesepakatan berbagai pihak, diangkatlah Pangeran Adipati Antakusuma bin Sultan Mustain Billah sebagai sultan pertama Kotawaringin dengan gelar Ratu Bengawan Kotawaringin. Beliau memerintah tahun 1615-1630 M dengan dibantu Mangkubumi Kyai Gede, seorang ulama penyebar agama Islam yang sudah lebih dulu tinggal di daerah itu.

Atas usulan Kyai Gede masyarakat sekitar yang dipimpin kepala suku, tidak perlu lagi membayar upeti ke Kesultanan Banjar di Martapura, tapi ke Pangeran Adipati Antakesuma yang memimpin langsung Kotawaringin. Pada kenyataannya, saat itu memang Sultan sering membebaskan daerah-daerah dari kewajiban membayar upeti kecuali sesekali saja. Misalnya Daeng Pattigalong yang dipinjami wilayah Kotabaru, Tanah Bumbu dan Tanah Grogot oleh Sultan Mustain Billah dibebaskan dari kewajiban membayar upeti. Bahkan putri sultan yang bernama Putri Limbak dikawinkan dengan Aria Mandalika, salah seorang bangsawan Bugis. Karena itu hubungan Banjar-Bugis menjadi erat, sebagaimana eratnya hubungan Banjar-Dayak yang juga banyak dijalin melalui perkawinan.

Hal ini karena Kesultanan Banjar saat itu semakin kuat dan rakyatnya sejahtera. Kerajaan Kotawaringin yang berbasis Islam dengan didukung Kyai Gede sebagai Mangkubumi selanjutnya melakukan pencampuran dengan masyarakat suku asli yang masih menganut agama nenek moyang dan ini berlangsung hingga para sultan berikutnya. Di masa pemerintahan sultan pertama ini disusun undang-undang Kesultanan Kotawaringin yakni Kitab Kanun Kuntala, selain itu dibangun Istana Luhur sebagai keraton Kesultanan Kotawaringin serta Masjid Jami Kutaringin. Sultan juga membangun Perpatih (rumah patih) Gadong Bundar Nurhayati dan Perdipati (rumah panglima Perang) Gadong Asam, selain itu untuk keperluan perang dibangun Pa’agungan sebagai tempat menyimpan senjata dan beliau juga membangun surau serta paseban (Bappeda Kotawaringin Barat, 2004)

Sultan Kotaringin ke-2 Pangeran Mas Adipati, memerintah tahun 1630-1655 M dengan Mangkubumi Kyai Gede yang kemudian digantikan oleh Dipati Gading. Setelah beliau wafat digantikan oleh Pangeran Panembahan Anum yang memerintah 1655-1682 M dengan Mangkubumi Dipati Gading. Sultan Kotawaringin ke-4 Pangeran Prabu memerintah tahun 1682-1699 M dengan Mangkubumi Pangeran Dira. Setelah wafat digantikan Pangeran Dipati Tuha yang memerintah 1699-1711 M dengan Mangkubumi Pangeran Cakra. Sultan Kotawaringin ke-6 Pangeran Penghulu, memerintah 1711-1727 M.

Sultan Kotawaringin ke-7 Pangeran Ratu Bengawan, memerintah 1727-1761 M. Pada masa ini Kesultanan Kotawaringin mengalami masa keemasan dengan melimpah ruahnya hasil bumi dan lakunya hasil kerajinan dari Kotawaringin di pasar regional. Kesultanan menugaskan menteri yang mengepalai beberapa wilayah, seperti Menteri Kumai, Menteri Jelai dan sebagainya (Bappeda, 2004). Namun pada masa pemerintahan beliau ini Kesultanan Kotawaringin diserahkan oleh Kesultanan Banjar kepada Hindia Belanda, sebagai kompensasi atas bantuan Belanda kepada Kesultanan Banjar dalam mengatasi pemberontakan dalam negeri. Mulai saat itulah pertanggungjawaban pemerintahan beralih dari Sultan Banjar kepada Kontrolir Hindia Belanda.

Pangeran Ratu Anum Kesumayuda Tuha menggantikan Pangeran Ratu Bengawan sebagai sultan ke-8, memerintah 1761-1805 M dengan Mangkubumi Pangeran Tapa Sana. Pada masa ini dibangun pesantren di Danau Gatal Kanan dan Danau Gatal Kiri sebagai tempat mendidik putra-putri kesultanan. Pada masa Sultan ke-9 Pangeran Ratu Imanudin ibukota Kesultanan Kotawaringin dipindahkan ke tepian sungai Arut yang diberi nama Sukabumi Indra Sakti yang kemudian dikenal sebagai Pangkalan Bu’un. Beliau memerintah 1805-1841 M dibantu oleh Mangkubumi Pangeran Adipati Mohamad Saleh. Pada masa pemerintahannya di bangun Benteng Batu Beturus di sungai Lamandau dan membangun pertahanan di Teluk Kumai, serta parit pertahanan di Sukamara untuk mengatasi bajak laut. Beliau juga membangun Istana Kuning dan rumah Raden Ratna Wilis untuk permaisuri.

Sultan Kotawaringin ke-10 Pangeran Ratu Ahmad Hermansyah dengan Mangkubumi Pangeran Paku Syuma Negara memerintah 1847-1862 M. Setelah itu digantikan oleh Pangeran Paku Syuma Negara dengan Mangkubumi Pangeran Prabunata yang memerintah dari tahun 1862-1867 M. Pangeran Ratu Anum Kesumayuda kemudian menggantikan kedudukan sultan ke-10 menjadi sultan ke-11 (1867-1904 M) dibantu Mangkubumi Pangeran Paku Sukma Negara yang kemudian digantikan oleh Pangeran Mangku Prabu Nata. pada masa beliau ini diselesaikan pembangunan mesjid Jami dan di bangun Rumah Mangkubumi.

Setelah beliau wafat terjadi perebutan tahta karena tidak memiliki anak laki-laki. Pemerintah Hindia Belanda melalui Kontrolir Van Duve mengambil keputusan, yang berhak naik tahta adalah keturunan dari Pangeran Imanudin. Sehingga Pangeran Paku Sukma Negara naik tahta kembali, ia memerintah 1904-1913 M, dibantu Mangkubumi Adipati Mangku Negara. Pangeran Paku Sukma Negara kemudian mengangkat ketiga putranya Pangeran Bagawan menjadi Raja Muda, Pangeran Kelana Prabu Wijaya menjadi Perpatih dan Perdipati Menteri Dalam serta Pangeran Mohamad Zen menjadi Penghulu.

Pangeran Ratu Sukma Alamsyah bin Pangeran Begawan diangkat menjadi sultan ke-13 dengan Mangkubumi Pangeran Adipati Mangkunegara yang memerintah dari tahun 1913-1939 M. Pengganti beliau adalah Pangeran Ratu Sukma Alamsyah yang dibantu Mangkubumi Pangeran Adipati Mangku, beliau memerintah dari tahun 1939-1948 (Bappeda, 2004).

Bergabung ke Republik Indonesia

Pada tahun 1948, Pangeran Ratu Kesuma Anom Alamsyah menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta, dan menyatakan bahwa Kesultanan Kotawaringin melebur dalam NKRI dan siap ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan RI.  Sultan ini juga menyerahkan bantuan berupa 300 senjata api dan sejumlah meriam kepada para pejuang guna mengusir penjajah Belanda yang ingin menjajah kembali.

Pangeran Ratu Kesuma Anom Alamsyah kawin dengan BR Ayu Subakdinah binti Bendoro Kanjeng Pangeran Purboningrat, Putra Sunan Paku Buwono IX, Raja Surakarta Hadiningrat yang bergelar Ratu Putri Kumalasari. Beliau meninggal dan dimakamkan di Solo tahun 1975. Jadi, Kesultanan Kotawaringin meskipun dalam perkembangannya bersifat mandiri, namun asal usulnya dari Kesultanan Banjar juga. Bahkan kemudian menjalin hubungan kekerabatan dengan Kesultanan Solo  Hadiningrat, yang masih berkaitan dengan Kesultanan Yogyakarya sebagai pewaris dari Kesultanan Mataram.