Pagustian atau dewan pertahanan adalah benteng yang didirikan oleh Tumenggung Surapati pada tahun 1865 , yaitu tiga tahun setelah Pangeran Antasari meninggal karena sakit. Pagustian ini terletak di Gunung Bondang di udik Sungai Lawung, Puruk Cahu. Pertahanan yang kedua terletak di Manawing, yaitu Kampung Bomban, Kalang Barat, di udik Baras Kuning, Barito.
Setelah Tumenggung Surapati meninggal karena sakit (1875) benteng Pagustian tetap dipertahankan oleh pengikutnya. Tetapi kemudian pada tahun 1905 dihancurkan oleh Belanda dalam usaha Belanda untuk membersihkan sisa–sisa pertahanan rakyat di daerah Barito. Benteng di Sungai Manawing adalah benteng terakhir yang dipertahankan oleh Sultan Mohammad Seman. Salah seorang Panglima yang terakhir yang tetap setia pada Sultan Mohammad Seman adalah Panglima Batur. Panglima Batur adalah seorang yang berasal dari suku Dayak yang telah beragama Islam dari daerah Buntok-Kacil, 40 km di udik dari Muara Teweh. Karena kesetiaannya kepada sultan ia diberi gelar “panglima” oleh sultan sehingga namanya menjadi Panglima Batur.
Tentang gelar-gelar ini umumnya di Tanah Dusun terdapat beberapa tingkatan gelar yang menunjukkan pangkat seseorang. Gelar “penghulu” adalah gelar untuk kepala adat atau kepala agama, gelar “tumenggung” adalah gelar untuk kepala suku atau kepala desa dan gelar “panglima” adalah gelar untuk jabatan yang mengatur keamanan, karena itu panglima mempunyai pasukan bersenjata. Seorang panglima adalah seorang yang paling berani, pandai, berpengaruh, biasanya kebal.
Berbagai suku Dayak dapat disatukan oleh Sultan Mohammad Seman seperti suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Siang, Bakumpai, Banjar Hulu dan lain–lain, baik yang beragama Islam atau yang masih memegang kepercayaan “kaharingan.” Panglima Batur ikut bersama sultan mengorganisasi beberapa suku Dayak ini sehingga panglima Batur berkenalan dengan tokoh-tokoh perang dari suku Dayak seperti Panglima Umbung di Mangkatip, Mat Nrun dari Putus Sibau, Batu Putih dari Kapuas, Tumenggung Lawas, Tumenggung Nado, Tumenggung Tawilem, Panglima Amit, Panglima Bebe dan lain-lain.
Panglima Batur pula yang bersama sultan mempertahankan benteng di Sungai Manawing, benteng terakhir pertahanan rakyat yang menentang Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah dari sultan untuk pergi ke Kerajaan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda.
Pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Chrisofel yang pernah ikut dalam Perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal, bulan Januari 1905 menyerbu benteng Manawing. Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu pasukan Sultan Mohammad Seman tidak mampu bertahan. Sultan tertembak dan dia pun gugur lah sebagai kusuma bangsa. Ia adalah sultan terakhir dari Kerajaan Banjar yang menjalankan pemerintahan Kerajaan Banjar dalam pelarian di Kalimantan Tengah. Ia benar-benar konsekuen, tidak mau menyerah dan lebih menyenangi mati dalam medan pertempuran daripada menyerah pada musuh. Ia betul-betul melaksanakan amanat ayahandanya Pangeran Antasari yang tidak kenal kompromi dengan Belanda, “Haram manyarah, waja sampai kaputing“.
Tertegun Panglima Batur ketika kembali ke benteng Manawing sebab benteng itu telah musnah dan Sultan Muhammad Seman, pemimpinnya, telah tewas dalam pertempuran. Panglima Batur dengan teman seperjuangannya, Panglima Umbun pulang ke kampung halamannya, Buntok-Kecil. Belanda berusaha menangkapnya dan dalam beberapa kali pertempuran Panglima Besar belum berhasil dijebak BeIanda.
Belanda berusaha mempergunakan saudara sepupunya Haji Kuwit, dan dengan perantaraan Haji Kuwit inilah akhirnya Panglima Batur terjebak dan dapat ditangkap oleh Belanda (24 Agustus 1905). Setelah dua minggu dalam penjara di Muara Teweh, dia dibawa ke Banjarmasin dan diarak keliling kota untuk menunjukkan bahwa pemberontak yang keras kepala itu telah tertangkap. Tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dijatuhi hukuman mati digantung. Permintaan terakhir darinya ialah minta dibacakan dua kalimat syahadat. Dia dimakamkan di belakang Masjid Jami Banjarmasin dan pada tanggal 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke Kompleks Makam Pahlawan Banjar. di mana juga dimakamkan Pangeran Antasari dan keluarganya.
Pada tahun 1905 berakhirlah Perang Barito, yaitu Perang Banjar yang berlangsung di sepanjang Sungai Barito. Sejak saat itulah takhta keturunan Kerajaan Banjar sudah terhenti bersama seluruh kedaulatan wilayah dan perangkat kekuasaannya karena tidak ada lagi yang menyatakan meneruskan perjuangan melawan pemerintahan kolonial.
(Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1983/1984. Tim Penulis Drs. Yustan Azidin, Drs H. Ramli Nawawi, Drs. A. Gazali Usman, Drs. Sunarto)