Ditulis oleh: Dharma Setyawan, S.Pd
Riwayat Singkat
Jauh sebelum tersentuhnya dakwah Islam di Banua Lawas (Banua Usang istilah Suku Dayak) telah berdiri sebuah Pesanggarahan yang berfungsi sebagai tempat tinggal Kepala Suku Dayak dan sekaligus dijadikan tempat melakukan musyawarah bagi suku Dayak. Bangunan pesanggarahan tersebut berukuran 15 X 15 meter. Seluruh perabot pesanggarahan tersebut terbuat dari bambu (Betung) dinding palupuh dan atao daun rumbia (daun sagu). Pada halaman pesanggarahan tersebut ditaruh 2 ( dua ) buah Tajau besar dari porselin sebagai tempat penampungan air untuk memandikan anak-anak suku Dayak yang baru lahir.
Dua buah Tajau tersebut masih utuh pada tempatnya. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya Kerajaan Banjar (Pangeran Suriansyah) tahun 1510- 1620 M. Terbukalah jalan bagi juru Dai untuk mengembangkan Agama Islam terutama juru Dai Pulau Jawa ke Kalimantan, diantaranya Khatib Dayan berasal dari Demak, dakwah agama Islam dari Khatib Dayan ternyata dapat diterima dengan baik oleh sebagian besar suku Dayak Banua Usang.
Akan tetapi suku Dayak Banua Usang yang tidak dapat menerima Islam sebagai Agama mereka sepakat untuk hijrah ke pedalaman Banua Usang dan sebagiannya menetap di Barito Timur, (Baguk, Tamiyang Layang dan sekitarnya). Pesanggrahan tersebut mereka tinggalkan tanpa diserahterimakan kepada keluarga mereka yang tinggal, namun hubungan kekeluargaan tetap terjalin dengan baik tanpa menunjukkan rasa dendam dan tidak bersahabat. Bahkan sampai sekarang sering saja terjadi dari pihak-pihak suku Dayak yang tinggal di pedalaman Habau dan Barito Timur berkunjung ke Banua Usang (Banua Lawas) untuk berziarah terhadap tajau yang mereka anggap sebagai keramat.
Para Tokoh Dayak Membangun Masjid Pusaka
Sekitar tahun 1625 M. Atas prakarsa Khatib Dayan serta dibantu oleh tokoh-tokoh atau pemuka suku dayak yang memeluk Agama Islam, diantaranya :
– Datu Ranggana asal Puain
– Datu Kartamina asal Kelua ( Sungai Rukam )
– Datu Sari Panji asal Banua Usang
– Lang- Lang Buana asal Banua Usang
– Taruntun Manau asal Banua Usang
– Timba Sagara asal Banua Usang
– Layar Samit asal Kata Waringin
– Pambalah Batung asal Barito
– Gantung Galuh asal Banua Usang
Membangun sebuah Mesjid di lokasi bekas pesanggarahan tersebut dengan ukuran 15 X 16 meter, 4 (empat) buah tihang utama (Tihang Guru) dari pohon batung ukuran sebesar gantang dan tihang-tihang penunjang lainnya juga dari paring batung dengan ukuran sedikit lebih kecil dari tihang utama.
Dinding terbuat dari pelupuh, atap dari daun rumbia serta seluruh pengikat bangunan Mesjid tersebut dari Haduk (ijuk) yang dipintal. Bangunan Mesjid tersebut dibentuk tinggi dan lancip dengan tiga tingkat atap, pada puncaknya berbentuk lancip dipasang Pataka dari kayu Bunglai yang dibuat oleh Khatib Dayan (bukti sejarah masih utuh).
Khatib Dayan Mulai Membuatkan Tihang Guru
Berdasarkan tutur dari orang-orang tua dari yang meriwayatkan, bahwa pembangunan masjid dimaksud dilaksanakan pada pagi hari Kamis ( Tahun 1625 M) setelah shalat shubuh, Khatib Dayan membangunkan 4 Tihang Guru masjid tersebut, untuk meneruskan pekerjaan selanjutnya dilaksanakan oleh Datu Sari Panji, Datu Kartamina dan lain-lain, sedangkan Khatib Dayan dan Datu Ranggana berangkat menuju Puain, guna membangun 4 buah tihang guru Mesjid Puain.
Setelah shalat Zuhur, selanjutnya untuk meneruskan pekerjaan pembangunan Masjid Puain tersebut dipimpin oleh Datu Ranggana, sedang Khatib Dayan melanjutkan perjalanan menuju Paran untuk membangunkan 4 buah tihang Guru Masjid Paran (Wilayah balangan).
Tiga buah Mesjid tersebut selesai dikerjakan dalam 1 (satu) hari, yakni pada hari Kamis. Kemudian pada hari Jum’atnya dilaksanakan shalat jum’at secara serentak pada 3 buah Masjid tersebut, yaitu :
- Masjid Pusaka banua Lawas
- Masjid Puain dan ;
- Masjid Paran.
Ketiga buah Masjid tersebut dibangun dalam bentuk yang sama, yaitu tinggi dan lancip. Sekarang kurang lebih 44 tahun, Masjid Pusaka Banua Lawas tersebut tidak ada diadakan rehabilitasi, kecuali hanya yang bersifat rutin atau perbaikan pada bagian bagian yang mengalami kerusakan kecil.
Rehabilitasi Pertama Masjid
Pada tahun 1669 dilaksanakan rehabilitasi pertama berupa pelebaran menjadi 16 X 17 meter serta penggantian tihang guru dari betung menjadi ulin (kayu besi) sebanyak 4 buah tihang guru, juga tihang penunjang lainnya dari kayu ulin, sedang bentuk bangunan tetap memakai Pataka yang dibuat oleh Khatib Dayan, demikian juga dauh tetap memanfaatkan dauh buatan Khatib Dayan yang menurut riwayatnya dibuat dari kayu Banglai dari satu pohon untuk Tiga buah Mesjid tersebut diatas. Rehabilitasi tersebut dipelopori oleh Daurbung salah seorang tokoh masyarakat sepeninggal Khatib Dayan.
Sekitar tahun 1769 dilaksanakan lagi rehabilitasi ke-2 yang dipelopori oleh Haji Abu Bakar, salah seorang Ulama di Banua Lawas dibantu oleh Mahmud. Rehabilitasi tersebut berupa penyambungan tihang utama, karena tihang yang ada masih kurang tinggi, serta penggantian sebagian tihang penunjang yang mengalami kerusakan. Mengenai atap, dinding, dan Pataka tetap sebagaimana keadaan yang lalu. Sekitar tahun 1791 dilaksanakan lagi rehabilitasi ke-3 yang dipelopori oleh Khatib Tasan (Putera dari H. Abu Bakar).
Penghulu Rasyid Memimpin Rehabilitasi Masjid
Dalam tahun 1848 dilaksanakan rehabilitasi yang dipimpin langsung oleh Penghulu Rasyid, yaitu penggantian dinding pelupuh dengan kayu (papan) serta perabot atas dari bambu diganti dengan kayu. Di samping itu juga dilakukan pelebaran yang menjadi bangunan induk yang sekarang ini.
Pada tahun 1925 dilaksanakan penimbukan dasar dari tanah yang diangkut oleh Waqif (masyarakat) dari tempat kediaman masing-masing. Dalam tahun 1932 dilaksanakan lagi penggantian dinding dari kayu papan biasa dengan kayu ulin (kayu besi) yang dipimpin oleh Haji Dukahar sekaligus pemasangan lantai dari Tehel dan pemasangan Pataka yang baru dari buatan tukang Pataka dari Paniuran HSU. Kemudian Pataka yang lama buatan Khatib Dayan disimpan disamping Mihrab Mesjid tersebut sebagai bukti sejarah. Upacara penurunan pataka yang lama dan pemasangan pataka yang baru disaksikan oleh Tuan Conttoleur berkebangsaan Belanda dari Tanjung .
Sampai sekarang dinding dan lantai Tehel Mesjid tersebut tidak pernah lagi dilakukan penggantian sedang pelebarannya hanya dalam bentuk teras keliling tanpa memperlebar bangunan induk yang telah disempurnakan oleh Penghulu Rasyid dalam tahun 1848.
Bukti Sejarah di Masjid Pusaka Banua Lawas
Beberapa catatan penting merupakan bukti sejarah yang masih utuh yang dalam kaitannya dengan Mesjid Pusaka Banua Lawas, yang dalam hal ini antara lain :
- Dua buah Tajau masih utuh tertanam 60 % kedalam tanah dan tetap kedudukannya sejak semula yang walaupun sudah berusia barangkali lebih dari 400 tahun. Warnanya tidak mengalami perubahan (masih utuh kecerahannya) walaupun terjemur di panas matahari sudah sekian ratus tahun .
- Satu buah Pataka buatan Khatib Dayan dari kayu Bunglai setinggi -+ 110 Cm .
- Satu buah Dauh (beduk) dari Kayu Bunglai yang dibuat oleh Khatib Dayan yang sampai saat ini masih dipakai.
- Dua biji bata besar ukuran -+ 20 X 40 Cm, yang ditemukan di dalam tanah -+ 1,5 Meter disamping Masjid Pusaka Banua Lawas .
- Tanaman pohon-pohon Kamboja di atas Kuburan di belakang Masjid Pusaka tersebut yang rata-rata berukuran garis tengahnya 30 Cm .
- Selain itu juga terdapat sebuah lukisan dari Penghulu Rasyid berupa hiasan untuk Mimbar. Lukisan tersebut masih utuh dan diletakkan bagian dalam Mimbar Masjid Pusaka tersebut.
Analisis Simbolisasi
Pengaruh ragam hias pra Islam dapat dilihat pada arsitektur Masjid Pusaka Banua Lawas. Meski tidak lagi diyakini, atap tumpang tiga berpuncak merupakan perlambang (simbolisasi) dari wujud gunung. Pada masa pra-Islam merupakan suatu yang disakralkan sebagai tempat bersemayamnya arwah nenek moyang
Hiasan puncak (pataka) pada Masjid Pusaka Banua Lawas berupa ragam hias kuncup bunga teratai juga perlambang pohon hayat (batang haring). Dalam mitos penciptaan langit, bumi, dan manusia, Kepercayaan Kaharingan mengakui adanya pohon Hayat yang melahirkan kesatuan serba dua (dualism symbol), sifat jantan dan betina, terang dan gelap dan lainnya.
Ketika pengaruh Islam sudah berkembang di daerah ini, konsep pohon Hayat masih dipertahankan dan disimbolkan ke dalam bentuk hiasan puncak berupa pataka yang mempunyai makna bahwa surga merupakan tujuan akhir dalam perjalanan manusia.
Kepercayaan itulah yang menyebabkan bahwa bekas petaka masjid banua Lawas yang terbuat dari kayu Ulin hingga sekarang masih dikeramatkan dan ada saja anggota masyarakat Maanyan yang menziarahinya.