Baantar Jujuran dalam Perkawinan Adat Masyarakat Banjar

Baantar Jujuran dalam Perkawinan Adat Masyarakat Banjar

Ditulis oleh Datu Cendikia Hikmadiraja Kesultanan Banjar
Datu Gusti Muzainah
Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin Jl. Jendral Ahmad Yani Km. 4,5 Banjarmasin 
E-Mail: drmuzainah232@gmail.com 

Abstrak: Baatar jujuran adalah prosesi adat dalam perkawinan pada masyarakat  Banjar, dan dilakukan sebelum berlangsungnya perkawinan. Baatar jujuran adalah  pemberian dari pihak laki2 kpd pihak perempuan, berupa sejumlah uang yang  besarnya ditentukan oleh pihak perempuan. Jujuran berbeda dengan mahar. Jujuran  biasanya lebih besar dari mahar, karena fungsi jujuran adalah sebagai bantuan untuk  melaksanakan resepsi perkawinan dan juga untuk modal awal berumah tangga.  Dalam pelaksanaan membayar jujuran, kadang diminta oleh pihak perempuan telalu  tinggi, sehingga menghambat terlaksananya perkawinan, ini bertentangan dengan  ajaran Islam. Disamping itu pula, ada juga yg menentukan jujuran dengan  bermusyawarah sehingga tercipta kesepakatan, ini sesuai dengan ajaran Islam. Ada  lagi yang menentukan jujuran dengan istilah, “sapambari”, artinya seikhlasnya, dan  ini juga tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hubungan hukum adat dan hukum  agama khususnya agama Islam dalam baatar jujuran di sini dapat dianalisis melalui  teori receptio in complexu dan receptio a contrario. 

Kata kunci: Jujuran, Mahar, Islam

PENDAHULUAN  

Latar Belakang  

Pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No 1  Tahun 1974 adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang  perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)  yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan  menurut Kompilasi Hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitssaqan  ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1 

Pernikahan dalam Islam termasuk hal yang disyariatkan oleh agama. Diantara dalil yang mensyariatkan nikah adalah dalam Surat Ar-Rum ayat 2:  Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram  kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya  pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. 

Islam sendiri tidak menentukan cara dan metode bagaimana sebuah  pernikahan itu harus dilaksanakan. Semuanya dikembalikan kepada adat-istiadat  yang berlangsung di daerah yang bersangkutan.2 Islam hanya memberikan batas batasan terhadap hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika melaksanakan sebuah  upacara pernikahan dan memberikan beberapa anjuran di dalamnya.  

Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa pada saat Islam datang dahulu,  masyarakat telam mempunyai adat istiadat dan tradisi yang berbeda-beda.  Kemudian Islam mengakui yang baik di antaranya serta sesuai dengan tujuan-tujuan  syara’ dan prinsip-prinsipnya. Syara’ juga menolak adat istiadat dan tradisi yang  tidak sesuai dengan hukum Islam. Di samping itu ada pula sebagian yang diperbaiki  dan diluruskan, sehingga ia menjadi sejalan dengan arah dan sasarannya. Kemudian  juga banyak hal yang telah dibiarkan oleh syara’ tanpa pembaharuan yang kaku dan  jelas, tetapi ia biarkan sebagai lapangan gerak bagi al-‘urf al-shahih (kebiasaan  yang baik). Di sinilah peran ‘urf yang menentukan hukumnya, menjelaskan batasan batasannya dan rinciannya. Hal ini bisa disebut demikian karena di antara maslahat manusia itu adalah mengakui terhadap apa yang mereka anggap baik dan biasa, dan  keadaan mereka tersebut telah berlangsung selama bertahun-tahun dan dari satu  generasi ke generasi berikutnya. Sehingga ini menjadi bagian dari kehidupan sosial  mereka yang sekaligus sukar untuk ditinggalkan dan berat bagi mereka untuk hidup  tanpa kebiasaan tersebut. Adat adalah representasi material dari suatu masyarakat.  Perwujudan material dari karakteristik dan kearifan lokal yang hidup dan  menghidupi masyarakat dalam suatu wilayah. Adat berada dalam ruang sosial, politik, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat.3 Lebih dari itu, Adat merupakan  sebuah sistem yang menyejarah dan dialektis. Perubahan-perubahan yang terjadi  dari waktu ke waktu dan semua yang terjadi dalam masyarakat tercermin lewat  adat. Hilangnya adat berarti hilangnya suatu masyarakat. 

Kajian-kajian para ahli hukum semenjak masa penjajahan Belanda sampai  masa kemerdekaan juga menunjukkan adanya keberadaan Hukum Adat, dimana  dalam perkembangannya terhadap studi hukum yang hidup dalam masyarakat  Indonesia telah melahirkan teori yang saling tarik menarik dalam melihat  keutamaannya. Teori-teori tersebut adalah receptio in complexu, receptie theorie,  dan receptio a contrario.  

Dan Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari banyak etnis  dengan berbagai adat istiadat dan budaya yang berbeda-beda. Salah satunya adalah  masyarakat Banjar yang dalam banyak aspek masih kental memegang adat istiadat  terutama dalam ritual pernikahan. Menurut Ahmadi Hasan, masyarakat banjar  merupakan komunitas etnis atau kumpulan penduduk asli Kalimantan Selatan yang  termasuk dalam kelompok Melayu Muda (terdiri dari etnik Melayu sebagai etnik  dominan, kemudian ditambah dengan unsur Bukit, Ngaju dan Maayan) yang  umumnya tinggal di sekitar pantai dan menganut agama Islam.4 

Hukum Adat Banjar adalah Hukum Adat lokal yang ada di Kalimantan  Selatan, karenanya ia adalah salah satu bagian dari Hukum Adat Indonesia. Hukum  Adat Banjar merupakan hukum asli yang berlaku pada masyarakat Banjar, yang  sifatnya tidak tertulis, sekalipun demikian Hukum Adat itu telah terakomodir  dalam beberapa tulisan dan dokumen-dokumen, seperti yang tertuang dalam  Undang-undang Sultan Adam Tahun 1835 dan dalam Kitab Sabilal Muhtadin  karangan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary.

Perkawinan orang Banjar didasarkan pada pandangan hidup orang Banjar  yakni kepada agama Islam, adat setempat, dan lingkungan tempat mereka hidup.  Ketiganya telah reintegrasi, oleh karena itu kalau kita membicarakan adat  perkawinan maka kita berbicara tentang pandangan hidup orang Banjar Kalimantan  Selatan yang telah menjadi pola tingkah laku, dan tingkah laku itu selalu berulang. 

Sebelum Islam masuk ke pulau Kalimantan, penduduknya telah memeluk  agama Hindu-Budha atau memeluk kepercayaan Kaharingan yang tentu saja sangat  berbeda dengan ajaran Islam. Walaupun proses Islamisasi masyarakat Kalimantan  hingga kini terus berjalan melalui dakwah dan pendidikan, akan tetapi bekas-bekas  kepercayaan dan budaya agama sebelumnya, tidak sepenuhnya bisa dikikis  sehingga sebagian masih berpengaruh terhadap keberagamaan dan kebudayaan  umat Islam hingga sekarang ini. Perkembangan agama Islam dan peningkatan ilmu  keislaman tampaknya dimulai pada abad ke 18 yaitu di zaman ulama besar  Muhammad Arsyad Al Banjary. Saat itu dakwah Islam menggunakan metode  pengajian dan pendidikan Islam di langgar (surau). Untuk mempermudah dakwah  Islam Muhammad Arsyad mengarang kitab baik fikih, tauhid, tasawuf dan lain-lain.  

Pernikahan merupakan salah satu aspek yang diwarnai adat istiadat yang  cukup kental bagi masyarakat Banjar. Bagi masyarakat Banjar, proses pernikahan  harus dilakukan secara terperinci. Oleh sebab itu, tidak heran prosesi pernikahannya  memerlukan waktu panjang dan biaya tak sedikit. Hal itu dikarenakan kebudayaan  masyarakat Banjar sedikit banyak dipengaruhi agama Islam yang dibawa oleh  pedagang dari Arab pada zaman dulu. 

Berikut ini adalah tahapan prosesi pernikahan adat Banjar, mulai dari  mencari calon pengantin sampai saat prosesi pernikahannya. Basasuluh  (menyelidiki); dalam masyarakat Banjar, proses awal menuju jenjang pernikahan  umumnya lebih aktif dilakukan oleh pihak laki-laki. Sementara pihak perempuan  bersikap pasif dengan menunggu sampai ada pihak laki-laki memintanya. Untuk  itu, basasuluh (menyelidiki) biasanya dilakukan oleh pihak laki-laki untuk  mengetahui seluk beluk gadis yang akan dipinangnya. Proses basasuluh yang berarti  menyuluhi keadaan si gadis, umumnya dilakukan oleh seorang perempuan tua yang pandai dan berpengalaman untuk menilai keadaan si gadis yang akan dipinang.  Semua informasi mengenai keluarga, sopan santun, maupun keterampilan pihak  perempuan akan disampaikan pada pihak laki-laki. Apabila disetujui, maka pihak  laki-laki bersiap untuk melanjutkan tahap selanjutnya yaitu badatang atau bapara.  

Tahapan berikutnya adalah Badatang-bapara (meminang atau melamar).  Pada tahapan ini, biasanya pihak laki-laki dan keluarganya sepakat untuk datang ke  rumah orangtua si gadis guna menyampaikan maksud lamarannya. Lalu dipilihlah  satu utusan dari pihak laki-laki yang berwibawa dan pandai mengatur kata-kata  sehingga pihak perempuan yang dilamar senang dan terkesan. Selama proses  lamaran berlangsung, tak lupa diselingi dengan bahasa kiasan dan petatah-petitih  sampai pihak keluarga perempuan mengerti dengan maksud kedatangan. Jika  lamaran diterima dengan baik, maka pihak keluarga perempuan akan meminta  waktu selama beberapa hari untuk bermusyawarah.  

Kemudian Bapapayuan atau bapatut jujuran (penentuan mas kawin) ;  setelah ada kesepakatan kedua belah pihak, dilanjutkan tahap berikutnya yaitu  pembicaraan mengenai besarnya jujuran (mas kawin) dan pengiringnya (patalian).  Selain itu, dibicarakan pula hari dan tanggal pernikahan yang umumnya ditetapkan  oleh pihak perempuan. Adakalanya diterima atau ditolaknya lamaran akan  diketahui dalam tahap ini. Besarnya jujuran dan patalian yang tidak bisa dipenuhi  pihak laki-laki, terkadang mengakibatkan gagalnya pernikahan, disampaikan lewat  penolakan halus dari keluarga pihak perempuan. 

Selanjutnya sebagai pangikat atau bukti telah bertunangan, calon  mempelai pria harus memberikan “jujuran/patalian” atau oleh-oleh kepada calon  mempelai perempuan. Barang-barang yang diberikan pada waktu maantar patalian,  di antaranya seperangkat pakaian seperti baju, rok, tapih (sarung), serudung, BH,  selop, make up, dan lainya untuk keperluan si gadis yang di lamar. Lazimnya  pakaian yang diserahkan itu seraba talu atau masing-masing berjumlah tiga.  Tahapan ini disebut dengan Baantar Patalian. Prosesi ini dilakukan oleh  rombongan yang terdiri dari ibu-ibu sebanyak sepuluh sampai dua puluh orang dan  bisanya diterima dengan upacara sederhana. Kesempatan ini digunakan oleh keluarga untuk mengumumkan kepada para tamu tentang hubungan calon  pengantin yang disebut balarangan atau bertunangan. Dalam acara tersebut kedua  calon pengantin harus dihadirkan. Maantar patalian ini biasa satu paket, bisa pula  terpisah dengan maantar jujuran. Kalau rentan waktu perkawinan masih lama,  biasanya maantar patalian didahulukan sebagai ‘tanda jadi’. Sedangkan jika akad  nikah mau secepatnya dilaksanakan, maantar patalian dan jujuran dijadikan satu  acara, sehingga lebih efektif. 

Berikutnya dilaksanakan akad nikah sesuai dengan adat kebudayaan  masyarakat Banjar yang banyak menyerap nilai-nilai agama Islam, akad nikah  biasanya disepakati dengan perhitungan hari dan bulan Arab. Akad nikah  berlangsung di masjid atau di rumah mempelai perempuan sebelum akhirnya  mempelai laki-laki kembali ke rumah orangtuanya untuk mempersiapkan acara  selanjutnya yaitu basanding. Namun, sebelum acara basanding berlangsung, ada  beberapa tahapan yang dilakukan oleh kedua mempelai guna mempersiapkan hari  yang paling bersejarah dalam hidupnya. Seperti: Bapingit, Bapacar, Badudus atau  bapapai, Batamat (khatam Quran,) Maarak pengantin (mengarak pengantin),  Basanding atau batatai dan lain-lain. 

Banyaknya tahapan yang dilakukan dalam prosesi pernikahan adat Banjar  ini sangat menarik untuk diteliti. Selain karena adanya keterkaitan untuk budaya  dan agama dalam masyarakat Banjar mengingat masyarakat Banjar dan Islam memiliki hubungan yang sangat erat, nuansa keislaman juga tidak dapat dilepaskan  dari keseharian masyarakat ini terlihat dari berbagai adat dan budaya yang berlaku.  Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri semua adat yang berkembang tersebut  harus difilter agar tetap berkesesuaian dengan syariat Islam.  

Salah satu prosesi adat nikah masyarakat Banjar yang cukup menarik  adalah Baantar jujuran. Ironisnya baantar jujuran ini berbeda dengan mas kawin yang dalam hukum Islam disebut dengan mahar. Sebaliknya baantar jujuran yang dimaksudkan dalam adat Banjar adalah hadiah tanda lamaran, tanda telah  diterimanya lamaran, dimana baantar jujuran tadi tidak hanya sejumlah uang yang  diserahkan, tetapi disertai pemberian barang-barang keperluan calon mempelai istri, biasanya dari barang-barang keperluan calon mempelai perempuan yang  diberikan oleh keluarga calon mempelai laki-laki. Permasalahannya baantar jujuran  bukan merupakan syarat syahnya suatu pernikahan. Tidak ada yang mewajibkan  baantar jujuran dalam aturan Agama manapun. Bahkan dalam ajaran Agama Islam,  yang menjadi kewajiban hanya membayar mahar atau mas kawin. Dalam artian,  jujuran bukanlah mahar atau mas kawin. Namun tradisi yang mengikat masyarakat  secara turun temurun membentuk persepsi bahwa jujuran merupakan suatu  kewajiban yang harus dibayar di samping mahar/mas kawin. Sehingga  menimbulkan problem baru dalam masyarakat. Contohnya; tertundanya pernikahan  karena ketidaksanggupan membayar jujuran, berhutang demi mampu  memenuhi/jujuran yang diminta, lebih parah lagi jika kemudian kedua mempelai  melakukan kawin lari, atau bahkan pernikahannya menjadi batal karena  permasalahan tersebut. 

Sesuai dengan latar belakang di atas peneliti ingin mengkaji lebih dalam  mengenai korelasi hukum Adat dan hukum Agama dalam prosesi baantar jujuran  dalam ritual pernikahan adat Banjar untuk menemukan benang merah antara tradisi  pernikahan adat Banjar dan hukum Islam agar tetap berjalan dengan harmonis.  Selain itu, aspek-aspek keislaman dan tradisi tidak seharusnya bergesekan namun  harus saling mendukung dengan tetap mengedepankan nilai maqashid syariah yang  dikehendaki Islam. Adapun judul yang diteliti dalam penelitian ini adalah Baantar  Jujuran dalam Perkawinan Adat Masyarakat Banjar. 

Rumusan Masalah 

  1. Bagaimana gambaran prosesi Baatar jujuran dalam perkawinan adat pada  masyarakat Banjar? 
  2. Bagaimana relasi hukum adat dan hukum agama dalam baatar jujuran pada  perkawinan adat masyarakat Banjar?

Tradisi “Maantar Jujuran” Dalam Perkawinan Adat Banjar Kalimantan  Selatan Perspektif Hukum Islam Dan Sosiologi Hukum. 

Penelitian ini adalah hasil penelitian tentang Tradisi “Maantar  Jujuran”dalam Perkawinan Adat Banjar di Kalimantan Selatan untuk mengetahui  bagaimana pelaksanaan “Maantar Jujuran”dalam Perkawinan Adat Banjar di  Kalimantan Selatan serta untuk mengetahui Perspektif Hukum Islam terhadap  pelaksanaan “Maantar Jujuran”dalam Perkawinan Adat Banjar di Kalimantan  Selatan. 

Penelitian yang ditulis oleh Mohammad Rohman Firdian mahasiswa UIN Sunan Ampel berbeda dengan penelitian kami, yang membedakan adalah  pengertian prosesi “maatar jujuran” adalah mas kawin sedangkan “jujuran, adalah  sejumlah uang selain mas kawin yang diberikan sebelum nikah. Selain itu yang  membedakan adalah aspek yang ditinjau. Penelitian ini adalah hasil penelitian  lapangan pada suatu daerah, data penelitian dihimpun melalui teknik wawancara  dan penyebaran angket kepada responden yang sudah menikah pada daerah tersebut  dengan tujuan mengetahui perspektif masyarakat tersebut tentang “Jujuran”.

Kajian Teori 

Peminangan merupakan langkah awal menuju ke arah perjodohan antara  seorang pria dan seorang perempuan. Islam mensyariatkannya agar masing-masing  calon mempelai dapat saling mengenal dan memahami pribadi mereka. Pada  prinsipnya apabila peminangan telah dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap  seorang perempuan, belum berakibat hukum.  

Pada prinsipnya peminangan belum berakibat hukum, maka di antara  mereka yang telah bertunangan, tetap dilarang untuk berkhalwat (bersepi-sepi)  sampai dengan mereka melangsungkan akad perkawinan.  

Apabila bersepi-sepi disertai dengan mahrom, maka dibolehkan, karena  adanya mahrom dapat menghindarkan mereka terjadinya maksiat. Riwayat Jabir,  menyatakan Nabi Saw. bersabda: “barangsiapa beriman kepada Allah dan hari  akhir, maka janganlah mereka bersepi-sepi dengan perempuan yang tidak disertai  mahramnya, karena pihak ketiganya adalah syaitan”.  

Tidak jelas penyebabnya, tampaknya ada anggapan sebagian masyarakat  seakan-akan apabila mereka sudah bertunangan, ibaratnya sudah ada jaminan  mereka menjadi suami isteri. Oleh karena itu hal ini patut mendapat perhatian  semua pihak. Bukan mustahil karena longgarnya norma-norma etika sebagian  masyarakat, terlebih yang telah bertunangan, akan menimbulkan penyesalan di  kemudian hari, apabila mereka terjebak ke dalam perzinaan.  

Dalam kaitan peminangan ini, dalam masyarakat terdapat kebiasaan pada  waktu upacara tunangan, calon mempelai laki-laki memberikan sesuatu pemberian seperti perhiasan atau cendera hati lainnya sebagai kesungguhan niatnya untuk  melanjutkannya ke jenjang perkawinan. Pemberian ini harus dibedakan dengan  mahar. Mahar adalah pemberian yang diucapkan dalam akad nikah. Sementara  pemberian ini, termasuk dalam pengertian hadiah atau hibah. 

Akibat yang ditimbulkan oleh pemberian hadiah, berbeda dengan  pemberian dalam bentuk mahar. Apabila peminangan tersebut berlanjut ke jenjang  perkawinan memang tidak menimbulkan masalah, tetapi jika tidak, diperlukan  penjelasan tentang status pemberian itu.  

Apabila pemberian tersebut sebagai hadiah atau hibah, jika peminangan  tidak dilanjutkan dengan perkawinan, maka si pemberi tidak dapat menuntut  kembalinya pemberian itu. Persoalan sekarang, bagaimana apabila hal tersebut  terjadi. Sebaiknya petunjuk Rasulullah saw dipedomani, akan tetapi apabila  ternyata timbul masalah, maka musyawarah untuk mencari perdamaian adalah  alternatif yang harus ditempuh, karena damailah pilihan yang Qur’ani.  

Sepanjang perdamaian tersebut tidak bertujuan menghalalkan yang haram  atau yang mengharamkan yang halal. Dengan demikian, dapat diambil kompromi  antara tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan  dan saling menghargai satu sama lain. 

Teori-teori yang dipakai untuk menganalisis hubungan hukum adat dan  hukum agama adalah, teori receptio in complexu, teori recepsi dan teori receptio a  contrario. Teori receptio in complexu (Van Den Bergh) adalah teori yang  menyatakan bahwa hukum adat adalah hukum agama tetapi dalam pelaksanaannya  terjadi penyimpangan-penyimpangan, teori recepsi (Snouck H) menyatakan apabila  terjadi pertentangan antara hukum adat dan hukum agama maka yang dipakai  adalah hukum adat. Sedangkan teori receptio a contrario (Hazairin) adalah apabila  terjadi pertentangan antara hukum adat dan hukum agama maka yang dipakai  adalah hukum agama. 

Metode Penelitian 

Penelitian ini adalah penelitian hukum normative, dengan menggunakan  Pendekatan Historis (Historical Approach) dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). 

Pendekatan Historis adalah pendekatan yang dilakukan dalam kerangka  untuk memahami filosofi aturan hukum dari waktu ke waktu, serta memahami  perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut. Cara pendekatan ini dilakukan dengan menelaah latar belakang dan perkembangan  pengaturan mengenai isu hukum yang dihadapi. 

Sedangkan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) adalah  pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang  berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi penting sebab  pemahaman terhadap pandangan /doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum  dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika  menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas  hukum yang relevan dengan permasalahan. 

Bahan Hukum, terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder  dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer terdiri atas undang-undang nomor  1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Bahan hukum  sekunder adalah sejumlah literatur yang terkait tentang permasalah yang dibahas.  Bahan hukum tersier adalah kamus, dan ensiklopedia.  

Teknik Pengumpulan Bahan Hukum  

Pengumpulan bahan hukum dalam peneliti menggunakan teknik  dokumentasi artinya bahan hukum dikumpulkan dari dokumen-dokumen, baik yang  berbentuk buku, jurnal, majalah, artikel, maupun karya ilmiah lainnya yang  berkaitan dengan judul yang diangkat oleh peneliti.  

Analisis Bahan Hukum 

Sesuai dengan penelitian yang dipilih maka analisa bahan hukum yang  digunakan:

1.Deskriptif Analitis

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif hal  ini disebabkan bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian ini adalah merupakan bahan hukum kualitatif yang digolongkan pada tipe deskriptif  analisis yaitu pemaparan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui yang  sebenarnya dan bersifat kualitatif.

2. Deduktif

Pola pikir Deduktif yaitu menggambarkan hasil penelitian diawali  dengan teori atau dalil yang bersifat umum, kemudian mengemukakan  kenyataan yang bersifat khusus dari hasil penelitian tentang adanya fakta yang  terjadi mengenai adat “baatar jujuran dalam perkawinan pada masyarakat  banjar”

PEMBAHASAN 

Keadaan Masyarakat Banjar 

Masyarakat Banjar yang bermukim di Kalimatan Selatan secara umum  terdiri dari dua golongan besar, yaitu masyarakat Banjar Hulu dan masyarakat  Banjar Kuala, sedangkan penelitian ini dilakukan pada masyarakat Banjar Kuala,  yaitu masyarakat Banjar yang bermukim di Kota Banjarmasin. Disamping itu  terdapat pula istilah orang “banua”, yaitu mereka-mereka yang hidup dan atau  bermukim di Kalimantan Selatan, sehingga yang disebut orang “banua” ini tidak  identik dengan “orang Banjar”, karena bisa saja berasal dari suku-suku lain yang  bermukim di Kalimantan Selatan ini. 

Menyebutkan masyarakat Banjar tidak bisa dilepaskan dengan konsep  “orang Banjar”, pada uraian sebelumnya sudah diungkapkan secara umum tentang  “orang Banjar” ini, berikut akan diperjelas pemahamannya, mengingat istilah orang  Banjar (dalam bahasa aslinya disebut “Urang Banjar”) lebih populer dari pada  istilah “masyarakat Banjar” yang pada dasarnya hanya untuk menyebutkan  kumpulan dari orang-orang Banjar yang ada di Kalimantan Selatan. 

Mallinckrodt menyebut suku Banjar adalah sebagai suatu nama yang  diberikan untuk menyebut suku-suku melayu yang terutama berasal dari daerah  penguasaan Hindu Jawa yang sebagian besar berdiam di pesisir Kalimantan  Selatan. Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.

Gazali Usman menyebutkan bahwa orang Banjar atau urang Banjar atau  etnik Banjar adalah nama yang diberikan untuk penduduk yang mendiami daerah  yang sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan, meskipun penduduknya itu  bukan seluruhnya etnik Banjar asli.  

Asal usul suku Banjar ini diceritakan berasal dari konsentrasi koloni  Melayu yang pertama terdapat di daerah Tabalong, yang kemudian berkembang  menjadi suku Banjar. Mereka ini bermigrasi dari Indonesia bagian barat pada  permulaan abad pertama masehi yang mana memasuki bagian Timur “Teluk Besar”  dengan lereng-lereng Pegunungan Meratus, yang dataran rendahnya dikenal dengan  istilah Banua Lima dan Banua Empat. Dalam wilayah inilah golongan Melayu  berbaur dengan kelompok atau suku Olo Maanyan dan orang-orang Bukit, yang  melahirkan ini pertama dari suku Banjar. Mereka ini kemudian mendirikan  Kerajaan Tanjung Pura dengan ibu kota Tanjung Puri yang kira-kira letaknya di  daerah Tanjung sekarang.  

Dilihat dari sisi hikayat Banjar, maka istilah “Banjar” itu sendiri ditemukan  dalam hikayat Banjar dengan asal istilah “Banjarmasih”, yang umumnya dipakai  untuk menyebut “Nagri Banjarmasih”, yaitu orang Banjarmasih, Raja Banjarmasih.  Disebutkan nama Banjarmasih disebabkan nama orang besar yang ada di Banjar  adalah Patih Masih. Banjar sendiri mengandung makna berderet-deret sebagai letak  perumahan kampung pendukuhan atau desa, yang terletak di atas air sepanjang  pinggir sungai. Nama Patih Masih adalah nama sebutan dari Patih “oloh Masih”  yang artinya Patih orang Melayu sebagai sebutan yang ditujukan kepada Kepala  suatu kelompok etnis di daerah Kalimantan.  

Selanjutnya menurut Idwar Saleh kata “Banjar” dan “Banjarmasih” yang  terdapat dalam hikayat Banjar menunjuk kepada nama desa yang terletak disekitar  Cerucuk sekarang ini disamping desa Serapat Tamban Kuin dan Balitung. Desa  Banjar ini disebut pula Banjarmasih, karena Tetuha Desa (Tokoh masyarakat)  disebut dengan istilah “Patih Masih”. Disamping itu pedagang dari Jawa yang tiap  tahun ke Banjarmasin lebih mengenal dengan istilah nama “Negeri Banjar”, “Kota  Banjar”, “Raja Banjar”, “Orang Banjar”, dan “Tanah Banjar”.

Gazali Usman dalam memandang masalah tempat dan kelompok suku  Banjar mempermasalahkan tentang “apakah sebenarnya yang disebut dengan etnik Banjar itu?”. Dikatakannya sebutan etnik Banjar atau suku Banjar tidak selamanya  tepat, karena adanya kenyataan yang menunjukkan bahwa “orang Banjar itu  sebetulnya terdiri atas beberapa kelompok suku bangsa, sehingga ia merupakan  suatu kelompok atau group”. Dalam hal ini Gazali Usman memandang sebenarnya  Urang Banjar itu terdiri atas beberapa etnik atau suku yang menjadi satu group,  yaitu etnik melayu, orang Bukit, orang Ngaju dan orang Maanyan, yang tentunya  etnik melayu sebagai etnik yang dominan. 

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas perlu ditegaskan dalam melihat  kenyataan yang ada pada penduduk yang mendiami Kalimantan Selatan pada masa  lalu dan masa sekarang dalam kaitan masyarakat Banjar ini, yaitu: a. Bahwa etnik melayu merupakan suatu etnik yang dominan dengan karakteristik  beragama Islam; b. Bahwa disamping itu dikenal kelompok masyarakat lain yang disebut dengan  suku Dayak yang umumnya tinggal di daerah pedalaman dan beragama  “kaharingan”.

Dengan kenyataan seperti itu umumnya yang disebut “Orang Banjar”  adalah dari etnik melayu yang beragama Islam, sehingga ada suatu suku dayak  “Bakumpai” yang tinggal di daerah Batola (Marabahan) yang sudah menganut  agama Islam tidak mau lagi disebut sebagai Orang Dayak. Kalau dilihat dari sisi  sejarah penganutan agama islamnya terlihat bahwa melekatnya agama Islam pada  masyarakat Banjar ini ditandai oleh suatu peristiwa sejarah Kerajaan Daha di mana  diceritakan suatu ketika terjadi pertentangan antara Raden Samudera, waris sah  Kerajaan Daha dengan pamannya Pangeran Tumenggung yang ingin mengambil  alih Kerajaan. Pangeran Samudera bersama-sama Patih Masin menyusun kekuasaan  di daerah Banjar untuk menghadapi pamannya tersebut, karena masih kurang  berimbangnya kekuatan, atas saran Patih Masih, Raden Samudera meminta  bantuan pada Sultan Demak. Sultan Demak bersedia memberikan bantuan dengan  syarat nantinya Raden Samudera bersedia memeluk agama Islam. Syarat tersebut disanggupi oleh Raden Samudera, dan Sultan Demak mengirimkan pasukannya  untuk membantu Raden Samudera di bawah pimpinan Khatib Dayyan. Setelah  peperangan dimenangkan oleh Pangeran Samudera, ia pun memeluk agama Islam,  yang kemudian diikuti oleh seluruh penduduk Banjar (24 September 1524).

Baatar Jujuran dalam Perkawinan Adat Masyarakat Banjar

Perkawinan merupakan sunnatullah yang menjadi hukum alam, yang tidak  hanya dilakukan oleh manusia tetapi juga dilakukan oleh hewan, bahkan tumbuhan.  Hal ini tercantum dalam Al-Quran surah Yasin ayat 36 yang berbunyi: Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasanpan semuanya.  baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri nıereka maupun dari apa  yang tidak mereka ketahui

Perkawinan dalam hukum adat tidak hanya semata-mata ikatan antara  seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suami istri untuk maksud  mendapatkan keturunan dan membangun serta menıbina kehidupan keluarga rumah  tangga. tetapi juga berarti hubungan hukum yang menyangkut para anggiota  kerabat dari pihak suami dan dari pihak istri. 

Arti perkawinan bagi hukum adat adalah penting karena tidak saja  menyangkut hubungan antara kedua mempelai, akan tetapi juga menyangkut  hubungan antara kedua pihak mempelai seperti saudara-saudara mereka atau  keluarga mereka lainnya. Bahkan dalam hukum adat diyakini bahwa perkawinan  bukan saja merupakan peristiwa penting bagi mereka yang hidup, tapi juga  merupakan peristiwa penting bagi leluhur mereka yang telah tiada. Arwah-arwah  leluhur kedua pihak diharapkan juga merestui kelangsungan rumah tangga meteka  akan lebih rukun dan bahagia. 

Perkawinan jujur merupakan perkawinan dengan pemberian (pembayaran)  uang (barang) jujur, pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat  yang mempertahankan garis keturunan bapak (partilineal). Pemberian uang atau  barang jujur (Gayo : Unjuk. Batak : boli, tuhor, parunjuk, Nias : beuli Niha,  Lampung : segreh, seroh, daw, adat : Timor-sawu : velis, wellie dan Maluku: beli,  wilin) dilakukan oleh pihak kerabat calon suami kepada pihak kerabat calon istri, sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai perempuan keluar dari kewargaan  adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam persekutuan hukum  suaminya. Di Sulawesi dikenal dengan “Doe panai” atau uang panai. 

Pada masyakarat Banjar menganggap bahwa pemberian uang jujuran dalam  sebuah perkawinan adalah wajib, tidak ada pemberian uang jujuran maka tidak ada  perkawinan. Masyakarat Banjar beranggapan bahwa uang jujuran setingkat dengan  mahar dalam hal kewajiban menunaikannya. Hal ini terjadi karena antara uang  jujuran dan mahar adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam sebuah  perkawinan. Uang Jujuran yang diberikan oleh pihak pria kepada pihak perempuan  pada umumnya digunakan untuk keperluan resepsi, membeli keperluan rumah  tangga yang bakal hidup berkeluarga. 

Dengan adanya tradisi atau adat pemberian yang sudah berkembang di  dalam masyarakat Banjar, penulis mencoba mengungkapkan fenomena tersebut,  yang penulis susun sebagai makalah Hukum Keluarga dengan judul “Baantar  Jujuran dalam Perkawinan Adat Masyarakat Banjar” 

Dalam tradisi perkawinan masyarakat Banjar bila ada seorang pria hendak  kawin dengan seorang perempuan, maka terlebih dahulu dari pihak pria tersebut  bertanya kepada pihak perempuan yang diinginkannya. Pertama-tama keluarga  laki-laki menanyakan kepada pihak keluarga perempuan apakah perempuan  tersebut sudah ada yang mengikat atau belum. Bila di perempuan belum ada yang  meminang, maka pihak kelııarga pria bisa mengutarakan niatnya untuk badatang (melamar/khitbah). 

Biasanya dalam badatang (lamaran) ini terkadang dilakukan dalam  beberapa kali pertemuan : 

Pertama: ketika ingin badatang ke rumah perempuan yang dimaksud  biasanya pihak pria membawa serta orang tua atau keluarganya dengan tujuan  untuk mengutarakan niat dan kehendaknya yaitu melamar si perempuan tersebut  dan berharap lamaran mereka diterima. Biasanya pihak perempuan bisa langsung  menjawab lamaran tersebut ataupun bisa juga meminta waktu selang beberapa hari  untuk memberikan keputusan terhadap lamaran tersebut.

Kedua: dalam hal lamaran diterima biasanya langsung diadakan  pembicaraan tentang sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, misalnya  mahar atau mas kawin, jujuran, petalian, hari pernikahan dan sebagainya. 

Ketiga: jika terjadi kesepakatan, maka barulah diadakan acara baantaran  Dalam lingkungan masyarakat banjar sejak lama telah mengakar secara turun  temurun budaya jujuran. Jujuran adalah sejumlah uang dalam besaran tertentu  (dengan nilai yang telah disepakati) yang wajib diserahkan oleh calon/keluarga  calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai perempuan yang  dipergunakan untuk mengadakan walimah/syukuran acara pernikahan. Hampir di  setiap persiapan acara-acara pernikahan, isu yang terdengar tidak jauh dari seputar  jujuran

Harus kita akui, budaya jujuran sangat identik dengan problem pranikah.  Meskipun sebagian masyarakat kíta tidak terlalu mempermasalahkannya. Jujuran  pada asasnya oleh pihak pría atau bisa juga disiapkan oleh orang tua pihak pria yang  diserahkan kepada pihak perempuan, namun uang jujuran tidak diserahkan kepada  pihak calon mempelai perempuan, melainkan digunakan untuk keperluan  membiayai keperluan seperangkat acara perkawinan. 

Uang jujuran dalam perkawinan masyarakat Banjar paling tidak  mengandung tiga tujuan. 

Pertama : Segi kedudukannya, uang jujuran merupakan rukun perkawinan di  kalangan masyarakat Banjar. 

Kedua : Segi fungsinya, uang jujiiran merupakan pemberian hadiah dari pihak  pria kepada pihak perempuan sebagai biaya resepsi perkawinan dan  bekal kehidupan kelak menjalani rumah tangga. 

Ketiga : Segi tujuannya, uang jujuran untuk memberikan prestise (tanda  kehormatan) bagi pihak perempuan jika jumlah uang jujuran yang  dipatok tersebut mampu dipenuhi pihak pria. 

Jumlah Nominal Uang Jujuran 

Pada umumnya jumlah nominal yang harus dipenuhi oleh pihak pria cukup  mahal bagi kalangan yang berekonomi menengah ke bawah. Bagaimana tidak, uang jujuran dengan nominal Rp 5.000.000 adalah nominal paling rendah tanpa adanya  pesta perkawinan. Terkadang pihak perempuan mematok sampai Rp 10.000.000 ke  atas. Ternyata ada sesuatu yang menarik apabila nominal uang jujuran tersebut  sedikit, pasti undangan yang akan diserahkan juga sedikit. Pada masyarakat Banjar  misalnya bahwa pesta perkawinan itu dibiayai dari jujuran pihak pria dan karena  uang jujuran sedikit maka jumlah undangan juga sedikit, sebab pihak perempuan  tidak mau terlalu banyak memberikan tambahan biaya perkawinan tersebut. 

Dalam Islam dikenal prinsip raf’ al-taysir (mengutamakan kemudahan)  dalam segala urusan terlebih lagi dalam perkawinan. pihak perempuan tidak  diperkenankan meminta yang justru memberatkan pihak pria, karena hal ini akan  menimbulkan dampak negatif, diantaranya: 

  • Menjadi hambatan ketika akan melangsungkan perkawinan terutama bagi  mereka yang sudah serius dan sudah saling mencintai. 
  • Mendorong dan memaksa pilıak pria untuk berhutang demi mendapatkaıı uang  diminta oleh pihak perempuan. 
  • Mendorong terjadinya kawin lari dan terjadinya hubungan di luar nikah.
  • Banyaknya perempuan yang tidak kawin dan menjadi perawan tua karena  pihak pria mengurungkan niatnya untuk menikah. 

Dampak negatif lainnya adalah terputusnya hubungan baik antara pihak  pria beserta keluarganya dengan pihak perempuan yang menolak untuk meneruskan  perkawinan hanya karena pihak pria tidak mampu membayar uang jujuran sesuai  yang diminta, bahkan dapat pula adanya guna-guna atau mantra yang dilakukan  oleh pihak pria karena keinginannya terganggu terhadap perempuan yang  dilamamya tersebut, agar perempuan dan keluarganya menjadi tunduk atau mau  untuk dinikahi oleh pria tadi. 

Namun demikian sebagian pihak pria yang menikahi perempuan dari  masyarakat Banjar merasa tidak terbebani dengan nilai uang jujuran yang relatif  tinggi karena dalam penentuan uang jujuran tersebut terjadı proses tawar menawar  terlebih dahulu sampai tercapai sebuah kesepakatan sehingga masih dalam  jangkauan batas kemampuan pihak pria untuk memenuhi uang jujuran tersebut.

Selama itu pihak pria juga telah mengetahui sebelumnya akan adat istiadat tersebut  sehingga mereka telah mempersiapkan segalanya sebelum melangkah ke jenjang  yang lebih serius. 

Uang jujuran itu sendiri akan dipergunakan untuk membiayai  penyelenggaran perkawinan, membelikan perabot rumah tangga, barang-barang  keperluan suami istri yang baru kawin, yang kesemuanya itu kembali untuk  kepentingan mereka yang akan menempuh hidup baru. Karena lazimnya setelah  mereka kawin mempelai pria tinggal di rumah tempat mempelai perempuan selama  mereka belum mampu mempunyai rumah sendiri. Jadi diperlukan persiapan yang  lengkap di rumah orang tua mempelai perempuan yang sebagian dibiayai dari uang  jujuran. 

Uang jujuran pada masyarakat Banjar diartikan sebagai sejumlah uang yang  wajib diserahkan oleh calon mempelai suami kepada pihak keluarga calon istri,  yang akan digunakan sebagai biaya dalam resepsi dan belum termasuk mahar.  Masyarakat Banjar menganggap bahwa pemberian uang jujuran dalam perkawinan  mereka adalah suntu kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Tidak ada ııang jujuran  berarti tidak ada perkawinan. Mereka beranggapan bahwa kewajiban atau  keharusan memberikan uang jujuran sama seperti kewajiban memberikan mahar.  Hal ini terjadi karena antara uang jujuran dan mahar adalah merupakan satu  kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Seorang calon suami yang memberikan uang  jujuran kepada pihak keluarga calon istri bukan berarti secara langsung telah  memberikan mahar. Karena uang jujuran tersebut belum termasuk mahar. 

Fakta sosial mengilustrasikan kepada penulis bahwa, kecenderungan  penyebab tingginya jumlah uang jujuran tersebut disebabkan karena beberapa  faktor, antara lain status sosial calon istri. Semakin kaya perempuan yang akan  dinikahi, maka semakin banyak pula uang jujuran yang harus diberikan oleh calon  suami kepada pihak keluarga calon istri. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya  jumlah uang jujuran yang harus dikeluarkan adalah tinggi rendahnya jenjang  pendidikan calon istri. Semakirı tinggi tingkat pendidikan seorang perempuan maka  semakin banyak pula Uang jujuran yang harus diberikan dan jika tidak memberikan Uang jujuran dalam jumlah yang banyak maka akan mendapatkan hinaan dari  masyarakat. 

Dari informasi yang pemah penulis dapat, bahwa mereka beranggapan  bahwa keberhasilan mematok Uang jujuran dengan harga yang tinggi adalah suatu  kehormatan tersendiri. Tingginya Uang jujuran akan berdampak pada kemeriahan,  kemegahan dan banyaknya tamu undangan dalam perkawinan tersebut. 

Uang jujuran yang diberikan oleh caloıı suami jumlahnya lebih banyak  daripada mahar. Adapun kisaran jumlah uang jujuran itu besarnya relatif dimulai  dari nominal juta, puluhan juta dan bahkan ratusan juta. Hal ini dapat dilihat ketika  prosesi akad nikah yang hanya menyebutkan mahar dalam jıımlah yang kecil.  Terkadang karena tingginya uang jujuran yang dipatok oleh pihak keluarga calon  istri, sehingga dalam kenyataannya banyak pemuda yang gagal menikah karena  ketidak mampuannya memenuhi uang jujuran yang dipatok tersebut. 

Menurui informasi yang penulis dapat, uang jujuran adalah juga merupakan  salah satu cara pandang agar seseorang dapat mendapat tempat dalam status sosial  yang tinggi. Dalam artian, semakin tinggi nilai jujuran, semakin tinggi pula derajat  orang tersebut. Meskipun demikian, tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa  nilai jujuran tidak menjamin masa depan rumah tangga yang harmonis atau  mengangkat derajat keluarga mempelai. 

Besaran nilai jujuran tergantung oleh beberapa hal seperti latar belakang  mempelai perempuan. Semakin terpandang dan terhormat keluarga mempelai  perempuan maka semakin tinggi nilai jujuran-nya. Selain itu jujuran juga  ditentukan tingkat kecantikan mempelai perempuan, semakin cantik paras si perempuan semakin tinggi pula nilai jujuran. Saat ini faktor yang juga  memengaruhi nilai jujuran adalah tingkat pendidikan si perempuan. Saat ini banyak  perempuan suku Tapin yang mengenyam pendidikan cukup tinggi dan telah  memiliki karir. Status pendidikan dan karir mempelai perempuan ini pun menjadi  faktor yang menentukan nilai jujuran. Semakin tinggi pendidikan dan karir  perempuan yang akan dinikahi maka nilai jujuran makin tinggi pula. 

Dalam prakteknya uang jujuran juga ditentukan oleh variabel status sosial perempuan dibanding status sosial pria, yang juga terkait dengan kultur dan  struktur sosial masyarakat Banjar. Pada masyarakat Banjar walaupun uang jujuran  ditentukan dan dimusyawarahkan secara bersama antara pihak pria dan pihak  perempuan, namun keluarga pihak perempuan yang paling menentukan besaran  mahar tersebut, sehingga tidak jarang pernikahan batal hanya karena tidak ada  kesepakatan tentang jumlah uang jujuran. 

Relasi Hubungan Hukum Adat dan Hukum Agama 

Teori pertautan antara hukum agama dan hukum adat sebagaimana yang  dijelaskan terdahulu yang sangat popular dalam hukum adat adalah teori “receptio  a complexu”, “teori receptio” dan “teori recentio a contrario“. Ketiga teori ini telah  memiliki dasar pandangan masing-masing dalam melihat pertautan antara hukum  adat dengan hukum agama yang berlaku di Indonesia. 

Teori “reception in complexu” oleh para penggagasnya secara tegas  rnenyebııtkan ”Receptio in complexu oleh bangsa Hindu dari hukum Hindu, oleh  kaum lslam dan hukum Islam, oleh kaum Kristen dari hukum Kristen. Selama bukan  sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya,  karena jika memeluk sesuatu agama, harus juga mengîkuti hukum-hukum agama  itu dengan setia. Jika dapat di)ruktikan bahwa 1 (satu) atau beberapa bagian, adat 

adat seutuhnya atau bagian-bagian kecil sebagai kebalikaımya, maka terdapat  penyimpangan-penyimpnngan dalam hukum agama itu; dan bahwa penyusun ajaran  itu man mengakui bukti penyangkal itu adalah suatu tanda, bahwa ia telah  mempunyai penglihatan serta menghargai setinggi-tingginya kesadaran hukum  nasional dari “rakyat berkulit sawo” dari raja Belanda”. 

Keberadaan reori reception in complexu kalau dianalisa dari hukum  perkawinan adat masyarakat Banjar dapat dikategorikan menganut teori ini  masyarakat Banjar adalah masyarakat yang agamis, selalu melekat ciri sebagai  penganut agama Islam. 

Nilai-nilai ajaran Islam sudah dilaksankan pada saat sebelum  berlangsungnya perkawinan yaitu dimulai dari melamar dan membayar mahar,  walaupun ada keharusan membayar jujuran, yang kadang jujuran itu lebih besar dari mahar, tapi semuanya itu sudah dibandingkan atau dimusyawarahkan. Jadi  besarnya jujuran atas kesepakatan para pihak. 

Jujuran bukan merupakan syarat sahnya perkawinan, tidak ada ajaran Islam  yang mewajibkan jujuran, karena dalam Islam hanya ada kewajiban membayar  mahar/mas kawin, namun demikian melihat dari praktik baantar jujuran dalam  perkawinan pada masyarakat Banjar, dilaksanakan secara musyawarah dan bisa  tawar menawar. 

Fungsi uang jujuran adalah sebagai modal untuk mengadakan resepsi  perkawinan, juga sebagai bekal awal bagi keluarga yang baru melangsungkan  perkawinan untuk membeli keperluan awal rumah tangga, seperti seperangkat  kamar dan lain-lain. 

Uang jujuran walau tidak diatur dalam hukum Islam, tidak bertentangan  dengan hukum Islam selama uang jujuran jangan memberatkan dan bahkan bisa  membatalkan terjadinya perkawinan akibat tingginya uang jujuran yang diminta  oleh pihak perempuan. 

PENUTUP 

Kesimpulan 

Ketentuan ukuran tinggi rendahnya Uang jujuran dalam perkawinan  masyarakat Banjar dilihat dari sisi status ekonomi keluarga calon isteri, jenjang  pendidikan calon istri, status ekonomi keluarga calon istri, kondisi fisik calon istri,  perbedaan antara janda dan perawan. 

Tujuan dan Akibat Uang jujuran dalam perkawinan masyarakat Banjar  Uang jujuran ditujuan sebagai kesiapan modal untuk memeriahkan resepsi  pernikahan anak perempuan, di sisi lain salah satu tujuan dari pemberian Uang  

jujuran juga untuk memberikan prestise (kehormatan) bagi pihak keluarga  perempuan jika jumlah kang jujuran yang dipatok mampu dipenuhi oleh calon  mempelai pria. Dampak akibat tingginya Uang jujuran adalah munculnya semangat  kerja bagi para lelaki yang ingin menikahi gadis. 

Pemberian Uang jujuran jika ditinjau berdasarkan hukum Islam hukumnya mubah atau boleh karena secara umum Uang jujuran hanya merupakan adat  kebiasaan masyarakat yang turun temurun. Dalam hukum Islam tidak ditentukan  kewajiban membayar Uang jujuran, yang ada hanyalah kewajiban membayar  mahar. Adapun dalam proses pelaksanaannya tidak terdapat unsur paksaan dan  dilakukan dengan prinsip musyawarah dan kesepakatan kedua belah pihak. Selama  tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan sudah menjadi kebiasaan yang  berlaku secara terus menerus juga berulang-ulang maka hal ini diperbolehkan.  Adapun meminta uang jujuran dengan nilai nominal yang tinggi ini tidak dibenarkan dalam hukum islam. 

Saran 

Masyarakat Banjar hendaknya memahami secara mendalam hal-hal yang  berkaitan dengan pemberian uang jujuran sehingga tidak menganggap pemberian  uang jujuran sebagai pemberian wajib mutlak untuk perempuan yang akan dikawini  melainkan sebagai hadiah untuk mempelai perempuan dan penentuan uang jujuran  hendaknya dilakukan secara musyawarah antara pihak laki-laki dan pihak  perempuan. 

 

1 Juliana Pretty Sanger, “Akibat Hukum Perkawinan Yang Sah Didasarkan Pada  Pasal 2 UU. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Lex Administratum 3, no. 6 (2015);  Waliyunisa Waliyunisa and Husni Syawali, “Kedudukan Hukum Pengurus Panti Asuhan  Sebagai Wali Nikah Terhadap Perkawinan Anak Asuhnya Menurut Hukum Islam  Dihubungkan Dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” 2016.

2 Muhammad Atho Mudzhar, “Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi  Dan Tekanan Adat),” Al-’Adalah 12, no. 1 (2017): 11–24.

3 R. Yando Zakaria, “Strategi Pengakuan Dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat  (Hukum) Adat: Sebuah Pendekatan Sosio-Antropologis,” BHUMI: Jurnal Agraria Dan  Pertanahan 2, no. 2 (2018): 133–150; Abdul Malik, “Identitas Kultural Dan Interaksi Sosial  Masyarakat Adat Di Tengah Modernisasi (Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan  Banten Kidul),” 2018. 

4 Herlambang Perdana Wiratraman, “Politik Hukum Peradilan Adat,” Mimbar  Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 30, no. 3 (2018): 488–503; Zakaria,  “Strategi Pengakuan Dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat (Hukum) Adat.”

 

DAFTAR PUSTAKA 

Malik, Abdul. “Identitas Kultural Dan Interaksi Sosial Masyarakat Adat Di Tengah  Modernisasi (Studi Kasus Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul),”  2018. 

Mudzhar, Muhammad Atho. “Hukum Keluarga Di Pakistan (Antara Islamisasi Dan Tekanan Adat).” Al-’Adalah 12, no. 1 (2017): 11–24. 

Sanger, Juliana Pretty. “Akibat Hukum Perkawinan Yang Sah Didasarkan Pada  Pasal 2 UU. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.” Lex Administratum 3, no. 6 (2015). 

Waliyunisa, Waliyunisa, and Husni Syawali. “Kedudukan Hukum Pengurus Panti  Asuhan Sebagai Wali Nikah Terhadap Perkawinan Anak Asuhnya Menurut  Hukum Islam Dihubungkan Dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974  Tentang Perkawinan,” 2016. 

Ramdhan, Tri Wahyudi. “TAFSIR GENDER.” Lisan al-Hal: Jurnal  Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan 10.1 (2016): 79-98.

Wiratraman, Herlambang Perdana. “Politik Hukum Peradilan Adat.” Mimbar  Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 30, no. 3 (2018): 488– 503. 

Zakaria, R. Yando. “Strategi Pengakuan Dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat  (Hukum) Adat: Sebuah Pendekatan Sosio-Antropologis.” BHUMI: Jurnal  Agraria Dan Pertanahan 2, no. 2 (2018): 133–150.