Ditulis Oleh Datu Mangku Adat Kesultanan Banjar
Datu H Syarifuddin R
Dalas Lucung
Sesuatu yang bisa terjadi di Banua Banjar jika masih dalam tahap memperebutkan kedudukan, tidak jarang dilakukan dengan cara menerapkan persaingan “dalas lucung“. Dalam hal ini adalah tujuan akhirnya bisa berarti tidak ada hasilnya (sama-sama kalah), tetapi tetap dilakukan.
Diawali sikap bahwa hanya dia atau kelompoknya saja yang pantas mendapatkan kedudukan yang diperebutkan. Oleh karena itu, yang ada di dalam pikiran cuma prinsip kemenangan semata (hanya siap menang). Akibatnya jika kalah tidak ada persiapan mental untuk itu.
Apabila diketahui dirinya sulit untuk menang, maka pesaingnya harus pula diupayakan agar tidak mendapatkannya. Tidak peduli bahwa yang akan menang itu padahal rekan sesama orang Banjar sendiri. Klimak dari persaingan ini adalah biar “lucung badadua” atau “lucung barataan“. Dengan demikian kedua belah pihak bersaing tersebut tidak ada yang mendapatkannya.
Konon hasil akhir semacam ini juga adalah sebuah kemenangan dalam bentuknya yang lain. Uniknya jika peluang jabatan atau kedudukan tersebut diambil atau dimenangkan oleh lain yang bukan orang Banjar, mereka malah sama-sama mendukungnya.
Kepuasan yang semu
Jika ada orang atau kelompok yang merasakan sesuatu kepuasan padahal dalam posisi tidak menang, itulah gambaran orang yang “katuju bacakut papadaan“. Seperti yang telah disebutkan di atas, walaupun tidak memenangkan apa-apa namun merasa puas karena saingannya juga tidak mendapatkannya.
Dalam menyikapi hasil kerja atau karya orang lain yang juga sesama orang Banjar, tak jarang pula menimbulkan kontroversi. Misalnya yang pernah terjadi pada festival atau perlombaan, ketika ditetapkan juaranya atas dasar hasil keputusan dewan juri atau tim seleksi, maka yang kalah berusaha mencari berbagai argumentasi agar bisa mematahkan keputusan yang telah ditetapkan.
Pihak yang meraih predikat juara tersebut harus dibuat tidak bisa tenang. Oleh karena itu dilakukan berbagai cara untuk mengusiknya. Beragam celaan dan sisi negatif atau kelemahan diarahkan kepada sang juara yang menerima kemenangan tersebut. Dicari dan dikorek kesana kemari peluang yang dapat melemahkan posisi lawan yang menang, supaya masyarakat mengetahui bahwa pilihan itu salah. Dengan demikian masyarakat digiring opininya bahwa ternyata masih ada lagi yang hebat, yakni “ampunnya” atau “anggit bubuhannya“.
Apakah Sifat Orang Banjar Susah Mengakui Kemenangan Lawan?
Kenyataan tersebut patut pula dipertanyakan, apakah orang Banjar juga memiliki sifat susah mengakui kemenangan lawan yang sesama orang Banjar? Ataukah itu sudah menjadi kodrat komunitas suku bangsa manapun dalam kehidupan bersosialisasi.
Akan tetapi sesuatu yang pasti adalah bahwa apabila satu pihak telah dinyatakan menjadi yang terbaik atau juara, maka akan ada yang mencercanya. Dengan demikian mereka yang kalah bersaing kemudian mencerca tersebut senang dan puas jiwa raganya. Apabila celaan sulit diarahkan kepada pesaing yang menang, maka kejelekan harus ditujukan kepada mereka yang bertanggung jawab memilihnya. Dalam hal ini mungkin dewan juri atau tim seleksi yang terlibat menentukan.
Persoalannya bukan lagi bertitik tolak pada kebenaran kritik yang dilontarkan, namun menolak hasil keputusan yang tidak berpihak kepadanya. Dikarenakan kemenangan atau keberhasilan berada pada keputusan orang lain, apabila dapat menyumpahi pihak yang telah memberikan penilaian atau lembaga yang melaksanakannya, maka perbuatan itu juga berarti sebuah kehebatan dan kepuasan yang sama nilainya dengan kemenangan.
Mereka yang mampu melakukan perbuatan menyumpahi dewan juri ataukah panitia pelaksana, biasanya bersifat “piragah panahunya”. Sifat itu berarti seakan dia saja yang paling tahu dan hebat segala-galanya. Orang yang memiliki sifat piragah panahunya tersebut sulit dapat mengerti orang lain. Segala sesuatunya hanya diukur dengan kemampuan dan kehebatannya sendiri, yakni menurut ilmu penglihatan, pendengaran (dengar-dengar) dan ditambah sejumlah dugaan yang diketahui melalui isu-isu yang belum tentu pasti kebenarannya.
Menyebarluaskan Kekecewaan
Perasaan tidak senang melihat orang lain menang atau sukses ini erat kaitannya dengan sikap “katuju bacakut papadaan”. Biasanya pula pernyataan kekecewaan pribadi atau kelompok itu tidak cukup hanya dibicarakan antar kelompok, tetapi semakin hebat lagi kalau bisa disebarkan dan ditulis/dimuat pada surat pembaca di koran-koran.
Di sini terlihat jelas tujuannya adalah untuk menghancurkan atau mempermalukan, sama dengan malunya mereka kalah. Dalam menulis kecaman tidak jarang menggunakan nama samaran yang dimaksudkan agar nantinya mudah menyebarluaskan beritanya tapan dituduh sebagai orang yang tidak bisa menerima kekalahan.
Padahal dengan cara menyebarluaskan ke mana-mana justru membuka kedoknya sendiri sebagai penulisnya yang tidak puas atas hasil yang ditetapkan. Semua itu dilakukan hanya untuk mendapatkan kepuasan semu dan biasanya kalau sudah melakukannya diiringi dengan ucapan atau perkataan “puas sudah aku/kami“.
Beranjak dari sini mungkinkah pula orang Banjar tidak memiliki jiwa kekitaan? Seharusnya keberhasilanmu adalah juga keberhasilan kita. Namun sayangnya yang biasa terjadi adalah sebaliknya, bahwa kekalahanku harus pula menjadi kekalahanmu.
Hal itu pulalah yang menyebabkan tak ada doa yang mengiringi untuk sang pemenang. Apalagi pihak yang menang sebelumnya ternyata tidak berhasil di tingkat lanjutan, misalnya di tingkat nasional. Maka “hinyikan” atau hujatan datang bagai air bah yang mengalir tak terkendali.
Apakah Hanya Contoh Kasus?
Berdasarkan hanya contoh kasus-kasus yang terjadi seperti itu sulit mempercayai jika kebiasaan bacakut papadaan itu memang menjadi ciri yang menyertai kehidupan sosial orang Banjar. Artinya perlu ditelusuri kembali dengan cermat istilah bacakut papadaan tersebut apakah telah menjadi sifat yang dimiliki orang Banjar sebagai warisan budaya.
Karena kalau merujuk sumbernya yang berasal dari petuah Pangeran Antasari yang berbunyi “lamun tanah banyu kahada handak dilincai urang, jangan bacakut papadaan kita”. Dari petuah ini dapat dianalisis setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama, Pangeran Antasari memang mengetahui secara pasti kalau rakyatnya suka bacakut papadaan, sehingga tidak mungkin dapat mengalahkan belenggu penjajahan (Belanda). Kedua, hanyalah sebuah antipasi ke depan, bahwa Pangeran Antasari menyadari tidaklah mungkin bisa berhasil mencapai suatu tujuan apabila rakyatnya terlibat konflik, sehingga perlu diperingatkan sejak awal agar jangan bacakut papadaan.
Apakah Berasal dari Politik Pecah Belah Belanda?
Dari kemungkinan tersebut tidak bisa pula diabaikan adanya politik pecah belah Belanda. Dalam hal ini sengaja menyebarkan isu-isu yang menyesatkan agar masyarakat Banjar terlibat konflik antar sesama. Dengan keadaan yang tidak saling mendukung antar kelompok masyarakat Banjar, tentunya dapat melemahkan semangat perjuangan.
Apalagi ketika pihak yang dibikin tidak bisa akur adalah pada tingkat elit pimpinan. Sehingga Belanda dengan mudah bisa meletakkan orang-orang yang patuh pada mereka untuk menjadi pimpinan di sektor-sektor wilayah kekuasaan. Kemudian apa yang terjadi pada masa lalu itu, nampaknya berkelanjutan pula menjadi kenyataan dalam politik di bumi Antasari ini.
Seperti pengalaman yang terjadi apabila yang menjadi pemimpin di banua adalah orang Banjar sendiri, seakan-akan banyak rintangan dan senantiasa digoyang dengan berbagai isu yang mengganggu kebersamaan dalam membangun daerah. Kritik yang seharusnya untuk kebaikan, berubah maknanya menjadi “mawada” (meremehkan), akhirnya yang mengemuka dan mencuat ke permukaan adalah sifat yang katuju bacakut papadaan tersebut.
Terjebak Istilah Bacakut Papadaan
Tidaklah arif bagi kita untuk menyatakan bacakut papadaan itu sesuatu yang bersifat permanen dan merupakan tabiat orang Banjar. Seringkali kita terjebak dengan istilah katuju bacakut papadaan ini, sehingga mengakibatkan perkembangan dinamika berfikir menjadi buntu dan melemahkan kekuatan.
Karena dengan cap suka bacakut papadaan itu telah menguatkan praduga untuk tidak perlu susah-susah mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi. Alasannya bacakut papadaan itu telah dianggap lumrah, memang sudah ajal (sudah menjadi tabiat atau sifat urang Banjar).
Padahal dengan cara membiarkan kritikan dan keluhan yang mencuat ke permukaan berdampak pada sikap apatisme masyarakat, dan pada gilirannya dapat menghambat program pembangunan yang telah direncanakan. Kurangnya dukungan dan mengemukanya wadaan-wadaan, akhirnya berkembang menjadu isu lain yang menyatakan kalau orang Banjar tidak mampu memimpin atau tidak bisa membangun daerah.
Perselisihan alias bacakut antar sesama orang Banjar sering pula tak ada yang mau mengalah. Pemecahan masalahnya justru merugikan, misalnya keinginan untuk mencari figur baru yang bebas konflik. Kemudian figur yang bebas konflik itu sepertinya diyakini hanya ada di luar orang Banjar. Terbukti dari beberapa pengalaman kasus kepemimpinan pada masa orde baru. Seolah-olah terbukti yang bisa bertahan lama untuk memimpin di daerah Kalimantan Selatan justru mereka yang bukan orang Banjar.
Mengingat Kejadian Sejarah Campur Tangan Pihak di Luar Banjar
Secara historis jika dirujuk ke belakang lagi kondisi perpolitikan di tanah banua Banjar sejak dahulu kala hingga jaman pembangunan sekarang ini senantiasa terlibat konflik sesama. Sebagaimana diketahui dalam suksesi Kerajaan Daha terjadi konflik yang tak terelakkan antara Temanggung dan Pangeran Samudera yang penyelesaiannya terpaksa meminta bantuan dari Demak.
Kenyataan sejarah ini secara tidak langsung menjadi referensi untuk mencapai suatu kemenangan atau penyelesaian masalah harus minta bantuan orang luar. Begitu pula suksesi yang terjadi di Kerajaan Banjar berikutnya karena adanya campur tangan Belanda dengan politik adu dombanya telah menimbulkan kekisruhan antara Hidayatullah dan Tamjidillah.
Suara Orang Banjar Sering Terpecah
Pernik-pernik kehidupan bacakut papadaan ini terus berlanjut. Seperti yang dialami para pejuang kemerdekaan dahulu diantaranya ada juga yang kecewa dengan kebijakan yang diterapkan pimpinan pejuang. Misalnya ketika dilakukan penyesuaian pangkat dan jabatan kemiliteran ternyata dirasakan tidak sesuai dengan pengabdian dan perjuangan mereka.
Permasalahan adalah karena dari mereka sesama pejuang itu diketahui ada yang diuntungkan sepihak. Kecemburuan semacam inilah yang melahirkan bibit-bibit perseteruan, sehingga tidak bisa untuk saling mendukung sesama orang Banjar.
Dapat pula dikemukakan misalnya mengapa Brigjen H Hassan Basry gagal menjadi Gubernur Kalimantan Selatan, padahal banyak yang menghendaki beliau untuk memimpin daerah. Penyebabnya adalah pada tingkat elit politik yang mendukung pencalonan H Hassan Basry tidak bulat, bahkan muncul pula calon lain tokoh partai sesama orang Banjar yang ikut bersaing dalam pemilihan menantang figur lainnya.
Meskipun anggota DPRD yang memilih sebagian besar adalah orang Banjar, namun karena suara terpecah hasilnya dimenangkan oleh H Soebarjo Soeryosuroso. Berdasarkan berita kala itu dimunculkan juga penyebab kekalahan tersebut adalah karena bacakut papadaan. Padahal yang pasti dengan calon tokoh orang Banjar lebih satu orang maka suara menjadi terbagi.
Introspeksi ke Depan
Dengan diberikan predikat orang Banjar suka bacakut papadaan, rupanya berimbas kepada kepentingan politik. Bahwasannya orang Banjar sulit menjalin hubungan kerja sama antara sesama. Sekarang dari sudut peluang untuk mendapatkan pimpinan daerah dengan kebijakan otonomi daerah ini orang Banjar lebih diuntungkan, karena keinginan dan tuntutan agar pimpinan putra daerah bisa diwujudkan.
Dalam satu periode kepemimpinan harusnya dapat dilalui dengan mulus, jangan ada goncangan yang dialami. Tentu saja tidak bisa divonis kalau kesalahan hanya ada pada masyarakat Banjar yang seharusnya dapat mendukung orang banua yang sedang menjadi pemimpin.
Mengembalikan Pesan Pangeran Antasari
Dalam situasi yang sudah terperangkap pada cap orang Banjar katuju bacakut papadaan tersebut, harus bisa diupayakan untuk mengembalikan pesan Pangeran Antasari yang menyuruh jangan bacakut papadaan. Hendaknya setiap persoalan yang mencuat ke permukaan yang mengalami jalan buntu dalam persilangan pendapat, perlu segera dicarikan solusinya agar tidak terjadi bacakut papadaan yang berkelanjutan.
Dengan begitu setiap orang yang terlibat dalam pertikaian hendaknya dapat menyikapi persoalannya dengan arif dan segera kembali menjunjung nilai hakiki papadaan yang berarti senasib sepenanggunan, seperuntungan, seiring sejalan dengan balutan kerja sama yang harmonis, bahu membahu dan saling membantu untuk melaksanakan tugas membangun banua.
Persoalan persaingan antar sesama adalah hal biasa dan sah saja, apalagi dalam politik. Tetapi yang menjadikan tidak biasa adalah dampak dari perkataan dan pernyataan bahwa orang Banjar katuju bacakut papadaan. Karenanya telah menyebabkan orang Banjar kehilangan simpati yang bersifat universal, terutama dalam hal pemilihan pemimpin.
Mengapa bisa demikian, karena telah terjadi penyiasatan yang salah atas ungkapan katuju bacakut papadaan tersebut. Akibatnya melahirkan pula pernyataan baru yang menyebutkan “mangalihi haja mamilih papadaan“. Beliau itu nanti sulit diajak kerja sama dan tidak bisa menerima masukan dari orang lain, sehingga menuai perselisihan saja.
Persepsi memang menjadi tantangan bagi orang Banjar untuk bisa mengatasinya dan kalau perlu memunculkan paradigma baru yang juga bersumber pada khasanah budaya Banjar. Lalu kenapa tidak bisa kita kembangkan nilai-nilai kebersamaan yang sudah lama dimiliki, seperti barakat-rakat lawan bubuhan atau sarantang saruntung yang menunjukkan kekompakan dan saling mendukung. Entahlah, terserah orang Banjar sendiri.