Abstrak. Batimung dalam masyarakat Banjar dan Dayak Meratus lebih banyak dikenal untuk acara prosesi pernikahan dan sangat sedikit yang mengetahui bahwa batimung selain untuk kesehatan juga untuk pengobatan penyakit di antaranya penyakit wisa (hepatitis). Oleh karena itu, masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana tradisi pengobatan batimung hidup dalam masyarakat Banjar dan Dayak Meratus.
Ditulis oleh: Saefuddin* dan Sisva Maryadi**
*Balai Bahasa Kalimantan Selatan; Jalan Jenderal Ahmad Yani Km. 32,2, Loktabat, Banjarbaru 70712 Kalimantan SelatanTelepon (0511) 4772641, Posel: kangasef@yahoo.co.id
**Balai Pelestarian dan Nilai Budaya; Jalan Sutoyo Pontianak 78121 Kalimantan Barat Telepon (0561) 737906, Posel:s_yadi11@yahoo.co.id
Tujuan penelitian ini akan menguraikan secara terperinci keberadaan batimung Banjar dan Dayak Meratus sebagai warisan tradisi nenek moyang yang telah sejak lama di Kalimantan Selatan yang berdampingan dengan budaya modern. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif ialah suatu metode untuk memperoleh informasi tentang tata cara pengobatan batimung dalam masyarakat Banjar. Hasil penelitian memberi gambaran tentang pengobatan batimung dalam masyarakat Banjar dan Dayak Meratus di Kalimantan Selatan.
PENDAHULUAN
Kalimantan Selatan memiliki potensi alam yang sangat melimpah. Kekayaan alam itu berupa tumbuh-tumbuhan yang dapat diolah menjadi bahan obat-obatan atau rempah-rempah sebagai bahan obat tradisional. Namun, tidak semua masyarakat yang ada di Kalimantan Selatan mengetahui bahwa alam Kalimantan banyak menyediakan sarana obat alami yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Selain itu, bahan-bahan alam atau tumbuh-tumbuhan yang ada di hutan Kalimantan dapat dijadikan jamu tradisional sebagai bahan alternatif untuk pengobatan bagi masyarakat yang memerlukan, terutama untuk menjaga kesehatan tubuh, selain itu, bahan-bahan alam atau tumbuh-tumbuhan yang ada di hutan Kalimantan dapat dijadikan jamu tradisional sebagai bahan alternatif untuk pengobatan bagi masyarakat yang memerlukan, terutama untuk menjaga kesehatan tubuh, selain obat-obatan modern yang dijual di apotek.
Potensi alam ini sekaligus dapat memberikan kontribusi bagi mata pencaharian masyarakat yang profesinya sebagai pedagang jamu tradisional. Hal ini dapat juga memudahkan terhadap kelangsungan pengobatan tradisional, seperti pengobatan batimung yang sewaktu-waktu memerlukan bahan-bahan ramuan untuk pengobatan tersebut. Ramuan-ramuan itu sudah ada dijual di pasar tradisional, seperti di pasar Martapura. Jadi, seseorang tidak perlu sulit lagi mencari bahan ramuan untuk pengobatan tradisional, seperti batimung walaupun sebagiannya masih harus mencari ke dalam hutan.
Selain itu, kita tidak perlu mengkhawatirkan bahwa pengobatan tradisional batimung secara turun temurun masih dilestarikan oleh masyarakat Banjar dan Dayak Meratus, khususnya masyarakat Banjar yang berdomisili di Rantau dan Dayak Meratus di Kabupaten Tapin yang menjadi lokus penelitian tentang pengobatan tradisional batimung di daerah tersebut. Hal ini memberikan gambaran bahwa pengobatan tradisional ini masih diperlukan oleh masyarakat, selain media obatnya mudah didapatkan juga pengobatan batimung masih dipandang sebagai identitas dan kekhasan serta kekayaan budaya daerah yang ada di Kalimantan Selatan. Salah satu bentuk tradisi pengobatan ini terefleksikan dalam suatu tradisi di masyarakat, di antara wujud itu adalah tradisi pengobatan tradisional batimung yang masih berlangsung secara turun temurun dalam masyarakat Banjar dan Dayak Meratus di Kalimantan Selatan (Damayanti 2016: 18).
Batimung kesehatan mengandung arti membuang keringat dari badan dengan cara diasapi serta ditambahkan bunga- bungaan dan ramuan alami untuk memberi keharuman kepada badan orang yang di-timung. Cara ini merupakan salah satu syarat bagi calon pengantin Banjar untuk menghadapi pesta perkawinannya nanti. Tujuan dilaksanakannya tradisi ini agar mempelai laki-laki dan perempuan saat bersanding di pelaminan atau acara berlangsung tidak mengeluarkan bau keringat atau aroma bau yang tidak sedap, tetapi berganti menjadi bau harum yang menambah pesona (Rahmah 2016: 11), dan penelitian ini juga berupaya menemukan jenis-jenis batimung pengobatan, baik batimung Dayak Meratus maupun batimung Banjar di Kalimantan Selatan.
Selain sebagai tradisi, batimung juga mempunyai fungsi kesehatan dan pengobatan bagi yang melaksanakannya, terutama untuk mengobati penyakit wisa (liver atau hepatitis) dengan cara di-timung. Berlangsungnya tradisi batimung selain memiliki fungsi kesehatan juga masyarakatnya dapat merawat tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang mereka (Daud 1997: 47). Oleh karena itu, batimung tidak hanya berlangsung di masyarakat yang merupakan bagian penting dari suatu tradisi turun temurun, di antaranya dalam prosesi persiapan menjelang pernikahan dan dipandang prosesi ini memiliki manfaat kesehatan dan sebagai bagian dari pengobatan tradisional bagi masyarakat Banjar dan Dayak (Suriansyah dkk. 2015: 73).
Selain itu, tradisi ini tampaknya tidak hanya dilestarikan oleh masyarakat sebagai pemilik tradisi, tetapi batimung juga dilestarikan dalam tulisan karya sastra, yaitu dalam cerpen Darah Penanda. Dalam cerpen ini penulis cerita hanya memberikan gambaran secara ekplisit bagaimana ketika seseorang sedang dilanda sakit, seperti terkena sakit wisa dan tipus. Penulis cerita mengulas sekilas tentang pengobatan batimung yang menurutnya merupakan tradisi nenek moyang yang mereka miliki.
Batimung dalam masyarakat Banjar dan Dayak Meratus pun memiliki variasi dan tata cara masing-masing pada setiap daerah (terutama cara menyajikan ramuan). Selain itu, penulis tampaknya ingin mengajak pembaca agar tradisi nenek moyang dapat dijaga dan terus dilestarikan, selama alam memberikan ruang dan sarana untuk pengobatan tersebut. Artinya, masyarakat tidak harus sepenuhnya selalu bergantung kepada dokter ketika sedang sakit. Namun, sebagai pengobatan alternatif dapat pula masyarakat mengobatinya dengan menggunakan batimung dengan tata cara yang mudah dan bahan-bahan yang diperlukan sudah tersedia di sekitar kita. Hanya saja sebagian besar dari masyarakat Banjar banyak yang belum mengetahui pengobatan tersebut dan selama ini yang banyak diketahui ialah batimung untuk pengantin (Damayanti 2016: 69).
Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas apa arti tradisi pengobatan batimung dalam masyarakat Dayak Meratus dan Banjar. Tujuan penelitian ini akan mengungkap bagaimana signifikasi tradisi pengobatan batimung dalam masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan tidak hanya berkaitan dengan batimung pengantin, tetapi akan membahas batimung pengobatan.
METODE
Pada tahapan pengumpulan data digunakan metode studi kepustakaan (library research) dengan teknik pembacaan dan pencatatan. Penerapan metode dan teknik ini untuk mengumpulkan data yang dijadikan objek penelitian, mengumpulkan ulasan atau pembahasan yang berkaitan dengan objek, dan mengumpulkan penelitian-penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Pada tahapan analisis data digunakan metode deskriptif analitik. Metode ini digunakan dengan cara mendeskripsikan data yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna 2004: 53). Nazir (1988: 65) mengatakan bahwa metode deskriptif analitik meliputi deskripsi, gambaran atau uraian secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antarfenomena yang diteliti. Tahapan terakhir dari keseluruhan proses penelitian ialah penyajian analisis data. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk jurnal ilmiah.
Metode yang digunakan pada tahapan ini ialah metode informal yang menyajikan (secara naratif) data hasil wawancara dengan informan di lapangan dan disusun menjadi suatu informasi atau paparan lengkap dan terperinci mengenai jenis-jenis batimung yang terdapat dalam masyarakat Dayak Meratus dan Banjar di Kalimantan Selatan. Metode formal digunakan penulis untuk memformulasikan data hasil wawancara itu ke dalam kata-kata biasa agar informasi yang diperoleh dari hasil wawancara itu dapat dipahami oleh pembaca (Ratna 2004: 5).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengobatan tradisional batimung ialah tata cara yang masih dilakukan oleh masyarakat Dayak Meratus dan Banjar di Kalimantan Selatan. Mereka masih berpegang pada tradisi leluhur nenek moyang mereka, karena pengobatan tradisional ini masih dipandang relevan dengan tata cara pengobatan modern seperti pengobatan yang dilakukan oleh para dokter ahli di rumah sakit-rumah sakit yang ada di daerah, seperti pengobatan di Rumah Sakit Ulin di Banjarmasin. Pengobatan batimung secara tidak langsung dapat membantu penyembuhan klinis pasienyang mengalami sakit, seperti penyakit tipus, hepatitis, dan liver, sedangkan di masyarakat Dayak Meratus dan Banjar disebut wisa atau wisa sangga atau penyakit kuning.Pengobatan tradisional ini membantu pasien yang tidak mampu untuk berobat ke rumah sakit dengan pengobatan modern.
Tidak dapat dipungkiri bahwa di zaman yang sudah modern ini masih terdapat masyarakat yang tidak memiliki kemampuan finansial untuk mengobati penyakit seperti wisa, wisa sangga atau penyakit kuning dengan cara dirawat di rumah sakit dan diobati oleh dokter yang ahli di bidangnya. Selain itu, masih banyak masyarakat yang masih percaya untuk mengobati penyakit wisa, wisa sangga atau penyakit kuning dengan cara pengobatan tradisional. Tidak sedikit pasien yang mengalami penyakit tersebut dapat sembuh dengan pengobatan batimung.
Hal seperti ini dapat dipahami bahwa dalam masyarakat cara melakukan pengobatan tradisional sudah menjadi kebiasaan turun temurun dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari suatu kelompok masyarakat, termasuk dalam kelompok masyarakat Dayak Meratus dan Banjardi Kalimantan Selatan (Tim Penyusun 2016: 523). Pengertian tradisional tersebut, sejalan dengan pendapat Funk dan Wagnalls seperti yang dikutip oleh Muhaimin (2001: 23) bahwa istilah tradisi atau tradisional dimaknai sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktik, dan lain-lain yang dipahami sebagai pengetahuan yang telah diwariskan secara turun-temurun termasuk cara penyampaian doktrin dan praktik tersebut. Muhaimin lebih lanjut mengatakan bahwa tradisi terkadang disamakan dengan kata-kata adat yang dalam pandangan masyarakat awam, dipahami sebagai kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan, di samping tradisi, seperti pengobatan tradisional masih dipandang dapat memberikan manfaat dan pengobatan yang cukup murah bagi masyarakat.
Sementara Willa Huky (dalam Supardi dkk. 2003: 25–31), mengatakan bahwa tradisi merupakan sumber yang paling berpengaruh dan menonjol. Hal ini disebabkan anggapan bahwa tradisi mengandung pengetahuan arif dan kebijaksanaan. Tradisi pengobatan sudah lama dikenal oleh masyarakat pedesaan di Nusantara. Sumber pengobatan menurut Kalangie, yaitu pengobatan rumah tangga atau pengobatan sendiri, pengobatan tradisional, dan pengobatan profesional (Supardi dkk. 2003: 25–31). Lebih lanjut dijelaskan bahwa persentase terbesar masyarakat memilih pengobatan tradisional atau pengobatan sendiri untuk mengatasi keluhan atas penyakit yang dideritanya. Pengobatan sendiri ialah sebagai upaya pengobatan sakit menggunakan obat-obat tradisional atau cara tradisional tanpa petunjuk ahlinya. Dalam UU No. 23 Tahun 1992 disebutkan bahwa obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, dan sediaan sarian. Campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Foster dan Anderson (1986: 61) menjelaskan bahwa etnomedisin secara teoretis adalah istilah kontemporer untuk kelompok pengetahuan luas yang berasal dari keingintahuan antropologi untuk mengetahui seluk beluk pengetahuan medis tradisional dan pelaksanaan praktik-praktik penyembuhan pada berbagai masyarakat dari kelompok budaya yang berbeda-beda. Lebih lanjut, Foster dan Anderson (1986: 63) menjelaskan bahwa dua kategori besar ini dikenal dengan istilah personalistik dan naturalistik. Secara ringkas sistem medis personalistik merupakan suatu sistem pengetahuan yang menyatakan bahwa penyakit disebabkan oleh intervensi agen yang aktif yang biasanya dipahami sebagai substansi supranatural. Terkadang sumber penyakit dalam kategori ini juga dikenakan pada orang dengan kemampuan mistis tertentu seperti tukang sihir atau tukang tenung. Sementara itu, korban yang sakit dianggap sebagai objek agresi yang menerima penyakit sebagai hukuman yang ditujukan khusus kepadanya dengan alasan-alasan khusus yang hanya terkait dengan diri si sakit saja. Sistem naturalistik merupakan suatu keseimbangan; sehat terjadi karena adanya unsur-unsur yang tetap ada dalam tubuh seperti panas-dingin, cairan tubuh, yin-yang, berada dalam keseimbangan menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya. Apabila keseimbangan ini terganggu, maka akan menimbulkan penyakit.
Beberapa ahli lain menggunakan terminologi yang berbeda dengan pemahaman yang lebih kurang dapat dikatakan sama, yaitu supranatural nonsupranatural, supranatural-natural (Foster dan Anderson 1986: 48), serta Simmon (dalam Foster dan Anderson 1986: 40) yang menggunakan istilah magis dan empiris. Foster dan Anderson sendiri menambahkan adanya konsep ketiga dalam sistem kausalitas penyakit, yaitu konsep emosional yang memberikan pendekatan psikologis dalam memahami sebab penyakit. Dalam penjelasannya, kedua terminologi besar ini meskipun dikotomik, tetapi tidak eksklusif satu sama lainnya. Masing-masing pendapat mengakui bahwa adanya ketumpangtindihan dalam mendiagnosis penyebab sakit dengan kecenderungan penjelasan pada satu pendapat.
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa batimung merupakan salah satu bentuk praktik pengobatan tradisional, yang ditujukan untuk mengeluarkan dan menghimpun keringat orang yang di-timung, baik batimung kesehatan maupun batimung pengobatan. Dalam makna yang lain, yang dipahami oleh masyarakat Banjar dan masyarakat umum luar Banjar, bahwa batimung atau timung yang berarti mandi uap khas Banjar, makna ini merujuk pada makna penjelasan, yakni mengandung makna menampung atau tertampung, karena cara dan polanya banyak memiliki kemiripan dengan pola yang berlangsung pada mandi uap (Tim Penyusun Museum 1977: 5–7).
Dilihat dari segi manfaatnya batimung dapat dibagi menjadi dua, yaitu 1) batimung untuk kesehatan dan 2) batimung untuk pengobatan (Putri 2015: 31). Kedua jenis batimung atau pengobatan tradisional khas masyarakat Dayak Meratus dan Banjar secara lebih terperinci akan diuraikan berikut ini.
Batimung Kesehatan
Batimung yang kita kenal selama ini merupakan timung tradisional yang menjadi salah satu syarat bagi calon pengantin untuk menghadapi pesta perkawinan. Tujuan dilaksanakannya prosesi batimung ini agar mempelai, baik laki-laki maupun perempuan, yang akan melangsungkan perkawinan pada saat bersanding nanti tidak mengeluarkan bau keringat yang tidak nyaman, tetapi berganti menjadi bau harum atau wangi. Meski sangat sederhana dan tradisional, perawatan tubuh ini sudah cukup lama dan telah dipraktikkan secara turun-temurun oleh masyarakat Dayak Meratus dan Banjar di Kalimantan Selatan. Perawatan tradisional ini dapat memberikan khasiat kesehatan serta pengobatan bagi pasien yang menderita sakit, seperti sakit karena wisa (hepatitis) atau batimung kesehatan yang dilakukan ketika sepasang pengantin akan bersanding di pelaminan.
Menurut Nini Panimungan (orang yang biasa melaksanakan batimung) batimung ini menjadi suatu keharusan sebelum memasuki hari pelaksanaan perkawinan (bersanding). Apabila kada batimung, pas basanding, tapaluh, (apabila tidak batimung pas bersanding berkeringat) alamat keringatnya banyak dan berbau, sehingga bisa mengganggu, karena itu harus batimung. Batimung juga untuk menyegarkan awak (badan) dan supaya kada tapi uyuh (mahilangkan uyuh; menghilangkan lelah) (Rahmah 2016: 7–8). Proses batimung, memerlukan waktu yang tidak sebentar, karena upaya yang ingin didapatkan dari proses tersebut ialah hasil yang maksimal. Prosesi batimung ini biasanya dilakukan satu minggu atau tiga hari sebelum melaksanakan acara pernikahan, tergantung rencana yang disusun oleh kedua mempelai dan kedua belah pihak keluarga (responden; Siti Fatimah, Noer Abidin, dan Monica Rahayu wawancara hari Kamis, tanggal 9 Februari 2017 di Rantau, Kabupaten Tapin).
Dalam pelaksanaan batimung, menurut Rahmah (2016: 8–9), terdapat beberapa proses yang harus dilaksanakan, yaitu: pertama, mencari ramuan-ramuan berupa daun lengkuas, daun dilam, pudak, serai wangi, limau purut, bunga- bungaan seperti mawar, melati, kenanga, cempaka, dan lain-lain; kedua, meracik, yaitu proses memotong rempah-rempah menjadi beberapa bagian agar memudahkan proses pengadukan; ketiga, maaduk, yaitu proses mencampurkan semua rempah-rempah yang sudah dipotong kedalam wadah kuantan yang berisi air; keempat, ba’jajarang, yaitu proses mencampurkan semua ramuan-ramuan ke dalam wadah yang disebut kuantan tanah yang berisi air secukupnya. Setelah itu, semua bahan direbus di atas api; kelima, maurak tikar purun, yaitu kegiatan menyiapkan alat-alat untuk menutup tubuh yang akan di-timung agar uap air yang di dalam tidak keluar. Perlengkapannya, yaitu tikar anyam (tikar purun), kain-kain atau sarung, selimut yang berbahan tebal; keenam, maurai tikar purun, yaitu kegiatan menyiapkan tikar purun yang dibentuk seperti lingkaran, tujuannya untuk menutupi atau melindungi badan selama proses batimung dilakukan; ketujuh, maangkut, yaitu proses mengangkat jajarangan rempah-rempah yang sudah mendidih untuk dimasukkan ke dalam tikar purun yang telah disiapkan untuk batimung; kedelapan, batimung, yaitu proses pelaksanaan akhir orang yang akan di-timung didudukkan di atas kursi kecil, di antara kedua kakinya di dekat tempayan dia duduk diletakkan kuantan tanah yang berisi air panas dengan jajarangan ramuan- ramuan. Kemudian badan yang di-timung tersebut ditutupi dengan gulungan tikar purun yang telah disiapkan, kecuali bagian kepala yang tidak ditutupi. Selanjutnya, orang tersebut dibungkus lagi dengan kain tebal atau sejenis selimut dengan tujuan agar uap air yang di dalam tidak keluar. Proses ini berlangsung selama beberapa puluh menit sampai air dalam kuantan berisi jajarangan ramuan mendingin dan di situlah proses batimung selesai; dan kesembilan, setelah keluar dari gulungan tikar purun dan kain- kain, orang yang di-timung tersebut mengeringkan badannya dengan handuk, proses ini disebut dengan istilah wanas.
Selain menjalankan tradisi untuk mempelai pengantin, batimung juga dijadikan alternatif dalam menjaga kebugaran tubuh, selain berolahraga. Di berbagai tempat, banyak orang yang membuka jasa batimung untuk tujuan menjaga kesehatan tubuh. Ramuan untuk batimung kesehatan dan ramuan untuk pengantin sama, sehingga penulis menggolongkan timung untuk pengantin ini ke dalam timung kesehatan. Pelaksanaan batimung kesehatan ini dapat dilakukan sendiri tanpa perlu bantuan orang lain. Begitu pula batimung yang dilakukan oleh masyarakat yang berdomisili di Dayak Meratus, tata caranya sama.
Batimung Pengobatan
Batimung pengobatan merupakan tata cara tradisional yang bertujuan untuk menyembuhkan jenis-jenis penyakit tertentu, baik proses batimung yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Meratus maupun Banjar. Namun, tata cara batimung pengobatan yang dilakukan oleh kedua kelompok masyarakat ini memiliki persamaan dan perbedaan. Secara umum, proses pelaksanaan batimung atau timung Banjar dan timung Dayak Meratus, mulai dari cara timung, baik peralatan yang digunakan maupun lama proses pelaksanaan timung tersebut, adalah sama. Perbedaan dari timung Banjar dengan Dayak, yaitu pada jenis ramuan yang digunakan.
Timung Banjar lebih banyak memakai jenis tumbuhan di sekitar rumah, sementara batimung Dayak Meratus ramuannya dari tanaman obat yang tumbuh di hutan-hutan. Selain itu, ada jenis penyakit yang diobati, bagi masyarakat Banjar hanya bisa untuk mengobati wisa saja, tetapi bagi masyarakat Dayak, selain sakit wisa juga dapat mengobati sakit akibat kena sangga, sakit tulang, dan tipus (informan: Ibnu Mas’ud, Rusdiansyah, dan Pamung wawancara dilakukan hari Kamis, tanggal 9 Februari 2017, di Rantau, Kabupaten Tapin).
Jenis-Jenis Batimung Pengobatan
Batimung Obat pada Masyarakat Dayak Meratus Peralatan dan bahan dalam timung pengobatan Dayak Meratus yaitu: 1) bahan berupa daun sungkai, daun sambung, daun balik angin, daun kunyit, daun gulinggang, daun tandui, daun teramba bisa, daun halaban (lihat gambar 1), dan daun tatawar; 2) peralatan yang digunakan dalam proses batimung adalah pengaduk air (centong besar dengan gagang panjang) yang dibuat dari kayu yang keras, periuk untuk merebus ramuan, tikar purun yang digunakan untuk membungkus badan si sakit, kain (tapih bahalai) atau selimut digunakan untuk melapisi bagian luar tikar purun agar tubuh si sakit benar-benar terbalut dengan rapat, bangku rendah dipergunakan untuk tempat duduk si sakit ketika proses timung dilakukan; 3) proses batimung, dimulai dengan menyediakan semua kebutuhan bahan yang diperlukan, mulai dari ramuan sampai pada bahan-bahan yang lain. Setelah semua ramuan tersedia kemudian direbus dengan air sampai mendidih di dalam periuk atau panci yang cukup besar. Setelah mendidih air rebusan tersebut diletakkan di depan orang yang akan di-timung.
Ada dua versi dalam tata cara meletakkan air rebusan ramuan tersebut, ada yang langsung di dalam panci tempat rebusan, dan ada pula yang dipindahkan ke panci yang lain yang memiliki penutup karena batimung ini memanfaatkan uap air secara sedikit demi sedikit. Setelah itu, prosesnya si sakit duduk di atas bangku di depan air rebusan sambil badannya ditutup dengan tikar purun atau tikar dari daun pandan secara melingkar. Lingkaran tikar tersebut sampai kepala dan diikat di atasnya, seperti ikatan pocong. Setelah di dalam, si sakit harus membuka sedikit demi sedikit tutup panci rebusan tersebut, sehingga uap airnya keluar. Apabila uap airnya makin sedikit si sakit harus mengaduk air rebusan ramuan tersebut dengan centong untuk menghasilkan uap air yang lebih banyak. Lama waktu si sakit berada dalam lingkaran tikar tersebut ialah sebatas dari kemampuan si sakit dalam menahan panas dari uap air dan asap yang dikeluarkan. Ketika mulai sesak nafas, ia bisa keluar dan nanti masuk kembali ke dalam tikar.
Secara umum, lama proses batimung untuk pengobatan ini rata-rata sekitar 30-60 menit dan dilakukan sekali dalam satu hari. Beberapa orang ada yang melakukan timung setiap hari selama tiga hari atau lebih, dan ada pula yang melakukannya sekali dua hari selama beberapa kali. Tidak ada waktu yang khusus untuk proses batimung ini. Batimung bisa dilakukan pada waktu pagi, siang, sore, atau malam. Namun, waktu yang tepat (wawancara dengan Ibnu Masud, pada hari Kamis, tanggal 9 Februari 2017 di Rantau, Kabupaten Tapin) ialah sore hari sebelum magrib, antara pukul 18.00-19.00. Pemilihan waktu ini disebabkan pada waktu-waktu tersebut suhu tubuh tidak panas, dan sudah dingin. Kemudian alasan lain, yaitu pada waktu itu, kita semua telah menyelesaikan aktivitas pekerjaan, sehingga tidak mengganggu aktivitas yang lain.
Hal yang tidak boleh dilupakan selama proses batimung adalah harus banyak minum air putih, karena kalau tidak banyak minum selama proses batimung tersebut akan menyebabkan si sakit akan mengalami dehidrasi. Biasanya si sakit akan melakukan proses batimung ini satu sampai tiga kali proses, sehingga penyakit yang diderita berangsur sembuh dan kemudian pulih seperti sediakala. Dengan proses batimung si penderita penyakit kuning (liver) atau wisa dapat mengeluarkan keringat sebanyak-banyaknya, sehingga penyakit yang ada dalam tubuh si penderita secara perlahan-lahan berkurang dan si penderita dalam waktu beberapa hari akan membaik dan akhirnya sembuh.
Batimung Batu
Setelah melakukan batimung beberapa kali, tetapi kondisi si sakit belum berangsur pulih atau belum maksimal kesembuhannya, maka pada masyarakat Dayak Meratus melakukan batimung batu. Cara yang harus dilakukan dalam proses batimung ini harus menyiapkan 1) bahan-bahannya, yaitu daun sungkai, daun sasambung, daun balik angin, daun kunyit, daun gulinggang (lihat gambar 2), daun tandui, daun teramba bisa, daun halaban, daun tatawar, dan batu sungai (dengan ukuran kurang lebih 2–3 kepalan tangan); kegunaan batu adalah setelah dibakar akan mengeluarkan panas dan batu ini untuk melengkapi proses terapi batimung; 2) peralatan yang digunakan dalam proses batimung, yaitu: pengaduk air (centong besar) yang dibuat dari kayu yang keras, periuk untuk merebus ramuan, tikar purun yang digunakan untuk membungkus badan si sakit, kain atau tapih bahalai atau selimut digunakan untuk melapis bagian luar tikar purun supaya tubuh si sakit benar-benar terbalut dengan rapat, bangku rendah dipergunakan untuk tempat duduk si sakit ketika proses timung dilakukan; 3) proses pelaksanaannya sama seperti di atas, yaitu ramuan disatukan semua dan direbus dengan memakai panci dengan ukuran sedang. Perbedaannya dengan timung pertama tersebut adalah proses pembakaran batu.
Pada saat perebusan ramuan ditambahkan dengan membakar batu sungai tersebut sampai batu tersebut benar-benar panas atau berubah warna menjadi merah. Setelah batu yang dibakar warnanya sudah memerah dan rebusan ramuan sudah mendidih, maka batu dan ramuan tersebut dikeluarkan dari perapian dan diletakkan di bawah tempat duduk si sakit, secara berdampingan. Ketika ramuan sudah mulai mendidih dan batu sudah menjadi panas, hal yang harus dipersiapkan adalah membungkus si sakit dengan tikar purun dan dilapis dengan selimut tebal. Setelah si sakit dibungkus dengan tikar purun, seperti batimung obat, lalu panci ramuan tersebut tutupnya dibuka sedikit demi sedikit sehingga keluar uap air. Sambil mengaduk rebusan tersebut, si sakit harus menyiram batu di sebelah panci rebusan tersebut dengan air rebusan. Dari perlakuan ini si sakit mendapat tambahan panas, dari batu yang disiram dan dari uap rebusan air. Setelah selesai timung, ramuan bekas rebusan tersebut, diusapkan ke kepala dan badan si sakit sambil dibacakan mantra-mantra untuk mengusir roh jahat yang ada di badan si sakit.
Batimung Pengobatan pada Masyarakat Banjar
Bahan yang digunakan, yaitu akar dan daun tanaman tibarau (sejenis pohon tebu yang tidak manis (biasanya tumbuh di pinggir sungai), daun pandan yang aromanya wangi, gula batu soda dengan gula yang kadar gliserolnya yang tinggi (bisanya dijual di apotek atau di pasar tradisional), serpihan susuk rumah yang dari kayu ulin, dan akar riu-riu yang banyak tumbuh di hutan. Peralatan yang dipergunakan, yaitu pengaduk air (centong
besar) yang dibuat dari kayu yang keras, periuk untuk merebus ramuan; dahulu yang dipakai untuk merebus ialah kuali khusus dari tanah, tetapi risikonya kuali itu bergoyang dan tumpah kena kaki si sakit, tikar purun untuk menutupi badan si sakit, kain atau tapih bahalai atau selimut untuk melapisi tikar purun pada tempat-tempat tertentu, bangku rendah untuk tempat duduk orang yang akan di-timung.
Proses Batimung Masyarakat Banjar
Proses batimung dimulai dengan menyediakan semua kebutuhan bahan yang diperlukan, mulai dari ramuan sampai pada bahan-bahan yang lain. Setelah semua tersedia ramuan direbus atau dijerang dengan air sampai mendidih di dalam periuk atau panci yang cukup besar. Setelah mendidih air rebusan tersebut diletakkan di depan orang yang akan di-timung. Sama seperti pada timung masyarakat Dayak Meratus, pada timung Banjar juga ada dua versi dalam tata cara meletakkan air rebusan ramuan tersebut di mana ada yang langsung di dalam panci tempat rebusan tersebut dan ada pula yang dipindahkan ke panci yang lain. Pemindahan ini biasanya panci tempat rebusan ramuan tersebut tidak ada penutupnya, karena batimung ini memanfaatkan uap air secara sedikit demi sedikit. Setelah itu, prosesnya si sakit duduk di atas bangku di depan air rebusan sambil badannya ditutup dengan tikar purun atau tikar dari daun pandan secara melingkar. Berbeda dengan masyarakat Dayak Meratus yang lingkarannya sampai ke kepala, pada timung masyarakat Banjar lingkaran tikar purun tersebut hanya sampai sebatas leher. Alasan lingkaran tikar tersebut sampai sebatas leher saja ialah kenyamanan untuk si sakit dalam melakukan proses batimung. Kalau tikar dililitkan sampai ke kepala, si sakit bisa sesak nafas terkena uap air, dan si sakit tidak akan dapat bertahan lama di dalam lingkaran tikar. Pada lapisan selanjutnya, dililitkan lagi selimut atau tapih bahalai tersebut. Setelah di dalam, si sakit harus membuka sedikit demi sedikit tutup panci rebusan tersebut, sehingga uap airnya keluar. Apabila uap airnya makin sedikit, maka si sakit harus mengaduk air rebusan ramuan tersebut dengan centong untuk menghasilkan uap air yang lebih banyak.
Sama seperti masyarakat Dayak, lama proses batimung untuk pengobatan ini rata-rata sekitar 30-60 menit dan hanya boleh dilakukan sekali dalam satu hari. Karena badan merasa agak mendingan, salah seorang masyarakat (Bapak Rusdiansyah) mencoba melakukan timung tiga kali dalam satu hari dan akibatnya dia mengalami dehidrasi yang parah walaupun sudah meminum air putih yang banyak. Seperti pengakuan salah seorang masyarakat (Pak Ibnu Mas’ud): …”Karena badan merasa nyaman setelah di-timung, maka ulun melakukan timung tiga kali dalam satu hari itu juga. Ulun pingin cepat sembuh, malah ulun kena dehidrasi parah, badan lemas, kepala pusing”.
Sama seperti masyarakat Dayak, dalam timung Banjar ini tidak ada waktu yang khusus untuk pelaksanaannya. Batimung bisa dilakukan kapan saja bisa pagi, siang, sore, atau malam hari. Namun, waktu yang tepat menurut (Pak Ibnu Mas’ud) ialah sore hari sebelum magrib, antara pukul 18.00-19.00. Pemilihan waktu ini, menurut masyarakat disebabkan pada waktu-waktu tersebut suhu tubuh tidak dalam kondisi panas, suhu tubuh sudah dingin. Alasan lain adalah pada waktu itu kita semua telah menyelesaikan aktivitas kerja, sehingga tidak mengganggu aktivitas yang lain. Bagi orang Banjar, pemilihan waktu tersebut memiliki makna, yaitu seiring berlalunya matahari, maka berlalu juga penyakit yang diderita.
Batimung Kupiah Rabit (Peci Rusak)
Selain melaksanakan timung dengan ramuan seperti di atas, ada juga masyarakat yang melaksanakan timung dengan menambahkan beberapa ramuan lain (Informan: Ibnu Mas’ud, Rusdiansyah, Pamung tanggal wawancara, hari Jumat dan Sabtu tanggal 7–8 Fabruari 2017 di Rantau, Kabupaten Tapin). Tujuan dilakukannya timung ini karena keinginan untuk sembuh dari sakit. Adapun ramuan yang dipakai untuk timung ini, yaitu akar kudarang, akar tibarau dan kupiah rabit (sobekan dari peci yang sudah rusak karena usia/bukan sobek karena sengaja dirusak). Sobekan yang dipakai tidaklah banyak, cukup selebar tiga jari tangan. Peralatan yang digunakan, yaitu pengaduk air (centong besar) yang terbuat dari kayu yang keras, periuk untuk merebus ramuan.
Proses Batimung Kupiah Rabit meliputi air satu panci dicampur dengan akar-akaran (ramuan) dan direbus sampai mendidih. Dalam ramuan yang direbus tersebut dimasukkan sobekan kupiah rabit. Setelah mendidih lalu si sakit membungkus badan dengan tikar purun dan ditambah lagi dengan selimut tebal. Tikar purun dililit sampai leher. Sebelum proses timung dilakukan, panci berisi air yang sudah direbus tersebut ditutup. Kemudian, air rebusan di dalam panci itu dimasukkan ke bawah tempat duduk yang sedang di-timung. Setelah itu si sakit duduk di bangku dan air rebusan tersebut dimasukkan ke bawahnya. Sambil duduk, si sakit harus membuka sedikit demi sedikit tutup panci tersebut dan pada saat-saat tertentu air rebusan ramuan tersebut diaduk-aduk. Pada saat memulai timung, si sakit disarankan untuk membaca doa untuk kesembuhannya. Lama proses timung ini sampai air ramuan tersebut sudah dingin atau selama si sakit mampu menahan panas saat di-timung.
Batimung dengan Kulit Ular
Proses batimung ini merupakan lanjutan dari proses batimung dengan menggunakan media air, baik bagi masyarakat Banjar maupun masyarakat Dayak. Proses ini biasanya dilaksanakan karena si sakit terkena wisa (hepatitis) yang sudah dianggap akut atau sakit parah. Alasan menggunakan kulit ular sebagaimana kepercayaan masyarakat di Tapin dengan memanfaatkan itu sebagai salah satu obat maka penyakit yang diderita oleh si pasien akan mengelupas dari badan seperti lepasnya kulit ular tersebut dari badannya. Ramuan untuk proses batimung ini kadang agak sulit didapat. Ramuan yang sulit di dapat adalah selimung ular tadung atau kulit ular kobra yang sudah berganti kulitnya.
Sebagian masyarakat akan menyimpan kulit ular kobra ini apabila secara kebetulan menemukannya. Bahan untuk timung ini sama, baik pada masyarakat Banjar maupun masyarakat Dayak Meratus. Adapun bahan yang digunakan untuk proses batimung ini, yaitu serabut buah pinang dan serabut kelapa yang sudah dipisahkan dengan buahnya (banyaknya pemakaian serabut buah pinang ini tergantung dari yang mengobati, sedangkan serabut kelapa ini adalah sebagai pemancing untuk menyalakan api), kulit ular tadung (ular kobra yang berganti kulit maka kulit yang dilepaskan itu yang dipakai), arang kayu (arang yang bagus adalah arang dari pembakaran akar kayu pohon birik), dan tempurung kelapa. Peralatan yang dibutuhkan, yaitu tikar purun, tapih bahalai atau selimut, bangku atau kursi biasa yang tidak ada sandarannya. Ada juga yang memakai bangku rendah seperti batimung yang memakai media air perapen atau perapian.
Proses pengobatan batimung ini dimulai dengan menyiapkan semua perlengkapan yang akan dibakar. Sabut (serabut) buah pinang dimasukkan ke dalam perapian, lalu dimasukkanlah arang kayu/bara kemudian dibakar. Bara yang bagus untuk membakar ramuan-ramuan itu ialah bara yang terbuat dari arang kayu. Pada beberapa informan, ada juga yang memakai tempurung kelapa sebagai tambahan dari arang kayu untuk menjaga agar apinya menyala lebih lama. Kayu yang cocok untuk dijadikan arang ialah kayu yang ketika dibakar memiliki daya tahan panas yang cukup lama seperti kayu meranti. Setelah api menyala di perapian, baru dimasukkan kulit ular kobra (dengan ukuran sekitar tiga jari tangan). Sambil membakar bahan-bahan tersebut, si sakit dibungkus dengan tikar purun sampai batas lehernya supaya tertutup dengan rapat bagian leher tersebut juga dilapisi dengan kain atau selimut (pada masyarakat Dayak tetap dibungkus sampai menutupi kepala).
Setelah itu, si sakit duduk di bangku yang disediakan dan di bawahnya diletakkan tempurung atau perapian tersebut yang telah dimasukkan kulit ular. Lama prosesnya sama seperti batimung yang memakai media air. Permasalahan dalam melaksanakan batimung dengan kulit ular ini ialah bau dari kulit ular yang dibakar itu sangat menyengat. Di kampung Rantau apabila tercium bau aroma menyengat pembakaran kulit ular kobra, hampir dapat dipastikan bahwa orang-orang yang ada di sekitar rumah tempat si sakit sedang melakukan timung. Pada masyarakat Banjar, selain timung dengan kulit ular kobra, ada juga timung lain yang dilakukan oleh pasien yang disebutnya dengan timung cambai (bentuknya mirip cabai). Batimung ini hanya memakai cambai (lihat gambar 3) sebagai ramuan pokok. Cambai ini sejenis cabai kecil, yang pohonnya menjalar di pohon dengan warna seperti lada/merica dan sangat pedas. Selain cambai, peralatan yang dipergunakan antara lain selimut tebal, kapas, minyak goreng, tikar purun, dan perapen (perapian). Proses pelaksanaannya adalah cambai dibakar dengan kapas dan ditambah minyak goreng, kemudian dioleskan ke badan. Setelah itu, badan dikurung dengan tikar dan dibungkus, serta di depan si sakit diletakkan perapen (di bawah tempat duduk). Lama proses ini biasanya satu hari. Pengobatan ular tadung (ular kobra), tujuan dan khasiatnya sama, yaitu untuk menyembuhkan pasien atau si sakit.
Batimung Mayat atau Batimung Matahari
Batimung ini adalah timung yang dilakukan dengan memanfaatkan sengatan atau sinar panas matahari. Timung ini menurut pemahaman masyarakat adalah timung pamungkas di antara timung lainnya. Apabila setelah melakukan timung ini masih belum sehat atau berangsur sehat, maka menurut keyakinan masyarakat Dayak Meratus dan Banjar di Kabupaten Tapin, si sakit hanya menunggu waktunya saja. Maksudnya ialah si sakit dan keluarga harus pasrah dengan kondisi si sakit dan hanya takdir yang Maha Kuasa lah dan ajal yang menyembuhkan penderitaan si sakit. Proses timung mayat ini berlangsung pada pukul 12.00 siang atau pada saat matahari sedang terik-teriknya.
Bahan yang diperlukan hanya beberapa helai daun pisang. Ada informan yang mengatakan bahwa daun pisang yang dipakai adalah daun pisang yang masih muda, tetapi ada juga yang mengatakan kalau daun pisangnya boleh daun pisang mana saja, asal belum kering. Pada saat pelaksanaan timung ini, si sakit akan dijemur atau dibaringkan telentang di halaman rumah dengan posisi matahari tepat di atas badan si sakit. Daun pisang tersebut dipakai sebagai alas tidur dan penutup bagian atas badan si sakit. Si sakit berada di tengah di antara daun pisang tersebut. Si sakit dibaringkan dan dilapisi seluruh badannya dengan daun pisang. Lama proses ini ialah semampu si sakit menahan panas yang dapat dia terima dalam proses pengobatan batimung matahari.
Setelah di-timung biasanya si sakit dianjurkan untuk meminum air janar (kunyit) atau air sirih. Air janar bertujuan untuk mengobati penyakit bagian dalam (antiobiotik alami), sedangkan air sirih mengobati bau badan. Janar atau kunyit diparut, lalu diperas dan airnya diminum. Untuk sirih biasanya direbus terlebih dahulu dan airnya diminum. Tidak ada takaran yang pasti untuk ramuan ini, biasanya memakai ukuran air yang direbus, dua gelas air direbus untuk dijadikan satu gelas. Ramuan itu biasanya diminum dilakukan tiga kali sehari dan meminumnya dilakukan setelah batimung saat siang hari, malam, dan pagi hari. Takaran untuk membuat air janar (kunyit) ialah sebanyak lima potong kunyit seukuran jempol jari tangan. Ada juga yang meminum air rendaman lancar kuning begitu selesai timung. Takaran untuk meminumnya juga tidak ada, tetapi meminumnya satu gelas untuk satu hari. Air kunyit boleh diminum diselang beberapa waktu dan tidak harus langsung habis sekali minum. Akar ini banyak kita temukan di hutan pedalaman di sekitar daerah perbatasan antara Kalimantan Timur dengan Kalimantan Selatan (wawancara dengan Pak Ibnu Masud; dan Rusdianyah hari Jumat, tanggal 7 Februari 2017, di Rantau, Kabupaten Tapin).
PENUTUP
Tradisi batimung merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang hingga ke generasi berikutnya yang ada di masa sekarang. Tradisi itu haruslah berlangsung sampai kapanpun walaupun dalam keadaan apapun, termasuk oleh adanya serbuan bermacam-macam kosmetik modern dan berbagai perawatan kesehatan di salon-salon kecantikan, yang aktivitasnya sama dengan aktivitas batimung. Namun, batimung tidak kalah menarik dengan jenis perawatan yang ada, termasuk jenis perawatan yang ada di zaman sekarang ini sudah menggunakan pola yang modern, batimung akan tetap dipertahankan dengan pola tradisional, karena hal itu merupakan ciri atau identitas bagi masyarakat pendukungnya, yaitu masyakat Banjar dan Dayak Meratus. Selain itu, tradisi batimung merupakan ciri dan identitas, yaitu masyarakat Banjar dan Dayak Meratus walaupun harus berdampingan dengan perawatan modern, batimung tidaklah surut oleh adanya jenis perawatan dan sauna yang sudah modern. Batimung tetap akan menjadi pilihan masyarakat sebagai warisan tradisi leluhur nenek moyang, karena faktanya masih ada sebagian besar masyarakat Banjar dan Dayak Meratus yang mempertahankan tradisi pengobatan tradisional tersebut. Oleh karena itu, masyarakat Banjar dan Dayak Meratus masih melaksanakan pengobatan tradisional batimung dalam kehidupan sehari-hari terutama batimung yang akan menjadi pasangan pengantin. Pengobatan tradisional ini dipandang sebagai warisan para orang tua mereka yang dapat dipandang perlu untuk dilestarikan.
Inilah alasan mengapa tradisi batimung itu harus tetap ada, karena masih dianggap menjadi bagian dari prosesi yang sakral bagi masyarakat Banjar. Di samping untuk persyaratan sakral dalam melaksanakan perkawinan, juga karena alasan higienis. Batimung juga dilakukan untuk kesehatan badan dan juga untuk melakukan ritual pengobatan penyakit yang disebabkan wisa atau penyakit kuning (liver), wisa sangga, dan penyakit tipus.
Berdasarkan jenisnya, batimung dapat dikelompokkan menjadi batimung kesehatan dan batimung pengobatan. Berdasarkan jenisnya, batimung Banjar dan Dayak Meratus dapat dikelompokkan berdasarkan jenisnya, yakni 1) batimung basah, 2) batimung kering, dan 3) batimung mayat (batimung matahari). Pada masyarakat Banjar batimung pengobatan dapat dibagi lagi berdasarkan bahannya, yaitu batimung kupiah rabit dan batimung kulit ular.
DAFTAR PUSTAKA
Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar
Deskripsi dan Analisis Kebudayaan Banjar.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Damayanti, Devi. 2016. Meratus Nyanyi Sunyi di
Pegunungan Borneo. Yogyakarta: Lemalera
Foster dan Anderson. 1986. Antropologi
Kesehatan (Terjemahan). Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Muhaimin, Ag. 2001. Islam dalam Bingkai Budaya
Lokal: Potret dari Cirebon (terjemahan
Suganda). Ciputat: Logos Wacan Ilmu.
Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia.
Putri, Eka Rosdiana. 2015. “Tari Wanas Timungan
Refleksi dan Budaya Batimung Masyarakat
Kandangan Kabupaten Hulu Sungai
Selatan”. Skripsi. Banjarmasin: STKIP-PGRI
Banjarmasin.
Rahmah, Siti. 2016. “Tradisi Batimung Menjelang
Perkawinan di Daerah Sungai Pinang Lama,
Kecamatan Sungai Tabuk”.
LaporanPenelitian Budaya. Banjarmasin: Fakultas
Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam
Negeri Antasari Banjarmasin.
Ratna, Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Suriansyah, M. Jantra Kawi, H.Bachtiar Sanderta,
dan Syamsiar Semar. 2015. Urang Banjar
dan Kebudayaannya. Yogyakarta: Ombak.
Supardi, Sudibyo, Sarjaini Jamal, dan Agnes M.
Laupatty. 2003. “Beberapa Faktor yang
Berhubungan dengan Obat Tradisional
dalam Pengobatan Sendiri di Indonesia”.
Buletin Penelitian Kesehatan 31 (1): 25-32.
Tim Penyusun. 2016. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Tim Penyusun Museum. 1977. Adat Banjar:
Batimung. Banjarbaru: Proyek Rehabilitasi
dan Perluasan Museum Kalimantan Selatan.