Cangkal, Tugul, dan Pantang Manyarah

Cangkal, Tugul, dan Pantang Manyarah

Datu Mangku Adat Suriansyah Ideham
Ketua Lembaga Budaya Banjar Kalimantan Selatan

Istilah mengangkat kembali batang tarandam bisa diartikan kesungguhan ketugulan (semangat kokoh-red), memperjuangkan atau membangkitkan kembali budaya-budaya elok Kesultanan Banjar. Saya menilai tarandamnya budaya keraton pascapembubaran oleh Belanda selama seratus tahunan lebih karena kelemahan para zuriat yang kurang gigih berjuang membangkitkannya kembali.

Tentu banyak kerugian yang dialami masyarakat pascahilangnya kemurnian budaya keraton. Ini bisa dilihat dari melunturnya budaya leluhur keraton. Contoh sederhana, zaman dahulu anak bila melihat wadah atau tempat penginangan atau peludahan langsung membungkukkan badan sebagai wujud penghormatan kepada orangtua. Melihat tempat menginang dan peludahan saja anak sudah hormat, apalagi di tempat itu memang ada orang tua.

Ada beberapa hal penting menurut saya untuk menilai kerugian tersebut yaitu ajaran Agama Islam semakin luntur, Bahasa Banjar mulai memudar dan budaya sungai yang semakin jauh. “Kita bersyukur kini ada zuriat yang membangkitkan kembali nilai-nilai kesantunan keraton. Perjuangan Pangeran Khairul Saleh dan para zuriat untuk membangkitkan budaya dan nilai keramahan tersebut harus kita dukung. Dia (Khairul Saleh, red) memiliki kemauan dan tekad kuat untuk usaha itu. Orangnya cangkal, tugul dan pantang manyarah,” ungkap Suriansyah Ideham, Datu Mangku Adat (DMA).