Membangkitkan Kesultanan Banjar

Membangkitkan Kesultanan Banjar

BERMULA DARI PERANG BANJAR

Perang Banjar meletus 1859 dan baru berakhir 1906. Dikobarkan oleh Pangeran Antasari 28 April 1859 dan berakhir dengan tertangkapnya Ratu Zalekha 1906, yang setelah diasingkan Belanda ke Bogor, dipulangkan ke Banjarmasin 1937 dan meninggal 1953.

Meski waktu dan tempat peperangan itu belangsung secara sporadik, yang jelas perang Banjar termasuk paling lama, besar dan dahsyat di antara sejumlah peperangan melawan penjajah di Nusantara. Perang  Banjar tidak saja terjadi di Banua Banjar Kalsel, tetapi juga hingga ke Kalteng, dengan melibatkan peran suku Dayak. Karena itu penulis lebih sependapat jika Perang Banjar disebut Perang Banjar-Barito, sebab kontribusi suku Dayak, termasuk di dalamnya Dayak Bakumpai di sepanjang Sungai Barito sangat besar.

Pangeran Antasari setelah terdesak di Martapura dan sekitarnya, mengalihkan pertahanan dan medan pertempuran ke Hulu Sungai Kalsel kemudian ke Hulu Sungai Barito. Beliau juga meninggal di sana (Bayan Begok Muara Teweh 11 Oktober 1862), dan baru tahun 1958 kerangka jenazahnya dibawa ke Banjarmasin dan dimakamkan di dekat Masjid Jami Sungai Jingah. Tenggelamnya kapal perang Belanda Onrust yang sangat fenomenal itu juga terjadi di Hulu Sungai Barito. Etnis Banjar dan Dayak saling bahu membahu melawan penjajah. Itu sebabnya sejak dulu urang Banjar dan Dayak seperti badangsanak dan tidak pernah terseret konflik SARA.

Peperangan yang begitu lama sudah tentu memakan korban dan menguras energi dan materi yang sangat besar, baik di pihak pejuang, dan tentu juga bagi penjajah. Mungkin karena sangat geram, di tengah kecamuk perang, Belanda membakar semua istana Kesultanan Banjar dan sekaligus menghapus Kesultanan Banjar dari peta sejarah. Berbeda dengan beberapa daerah lain yang melawan Belanda, biasanya setelah takluk Belanda hanya memecah belah dan menguasai, tapi tidak menghapus dan menghancurkannya. Itu sebabnya sebagian istana kesultanan, seperti di Yogya, Siak, Medan dan  dan Pontianak masih utuh hingga sekarang.

Pasca Perjanjian Meja Bundar dan Pengakuan Kedaulatan RI 1949, Belanda (NICA) terpaksa hengkang dari bumi Indonesia, termasuk dari banua Banjar. Logikanya setelah sang penjajah angkat kaki, maka Kesultanan Banjar yang dimatikan harus dihidupkan kembali, tentunya dalam konteks NKRI. Hal ini penting, karena suatu kerajaan dapat dijadikan simbol kebanggaan serta sarana untuk melestarikan berbagai warisan sejarah, ajaran agama, nilai-nilai adiluhung (luhur), seni budaya dan lainnya. Kerajaan masa lalu yang masih eksis tentu juga dapat dijadikan aset dan destinasi wisata dan sumber informasi ilmiah kesejarahan yang berharga.

HARUS BERUSAHA UNTUK MELESTARIKAN

Kita sebagai generasi meski sering mendengar kisah Kerajaan Banjar masa lalu, misalnya lewat buku-buku, kesenian mamanda, dan lagu-lagu daerah seperti ciptaan seniman Banjar Anang Ardiansyah (alm), tetapi  kita tidak tahu lagi Kerajaan Banjar itu seperti apa. Tidak ada istana, singgasana, mahkota, alun-alun dan peninggalan lainnya. Baik Kerajaan Banjar Hindu maupun Islam, seperti raib ditelan bumi. Kalau bekas Kerajaan Banjar Hindu (Negara Dipa dan Negara Daha) kita kesulitan mencari situsnya, kecuali misalnya hanya bekasnya di Candi Agung Amuntai dan Candi Laras Margasari, hal itu  wajar karena waktunya sangat lama. Tetapi Kerajaan Banjar Islam, waktunya belum terlalu lama, sangat disayangkan kalau bukti fisiknya tidak ada lagi.

Keinginan menghidupkan kerajaan/kesultanan masa lalu dalam konteks budaya, juga didorong oleh pemerintah. Melalui Permendagri Nomor 39 tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah, hal tersebut diatur sedemikian rupa. Tugas melestarikan lembaga keraton, adat-istiadat, budaya, dan sejenisnya ini dibebankan kepada kepala daerah dan masyarakat.

Masyarakat Banjar patut bergembira karena Pangeran Khairul Saleh adalah seorang zuriyat Kesultanan Banjar yaitu trah Sultan Sulaiman. Mengacu kepada Permendagri di atas, kita berharap dalam posisi sebagai tutus Kesultanan Banjar, maka pelembagaan dan pelestarian budaya Banjar, temasuk lembaga keraton dapat dihidupkan kembali. Dimaksud dengan keraton di sini adalah organisasi kekerabatan yang dipimpin oleh Raja/Sultan/Panembahan atau sebutan lain yang menjalankan fungsi sebagai pusat pelestarian dan pengembangan adat budaya dan nilai-nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya serta mengayomi lembaga dan anggota masyarakat (pasal 1 ayat 7).

PERLU PEMBANGUNAN FISIK DAN NON FISIK

Akhir Ramadhan 1431 H, sejumlah tokoh budaya dan pagustian, berkumpul di Hotel Arum Banjarmasin. Di antaranya Datu Baderani, Pangeran Rusdi Effendi, Pangeran Perbatasari Rahmatillah, Pangeran Antasari Rahmatillah, Pangeran Wardiansyah, Datu Suriansyah Ideham, Datu Adjim Arijadi, Datu Syamsiar Seman, Datu Syarifuddin R, Datu Taufik Arbain, dan masih banyak lagi termasuk Sultan Khairul Saleh sendiri.

Selain bersilaturahim, mereka juga membicarakan kedudukan dan prospek lembaga adat dan pengembangan fungsinya. Datu Baderani dalam prawacananya mengusulkan agar dikembangkan berbagai hal terkait dengan budaya Kesultanan Banjar. Secara fisik perlu dibangun artefak Keraton Banjar yang direncanakan berlokasi di Telok Selong Martapura, dengan mengacu kepada arsitektur keraton Banjar tempo dulu. Dilengkapi dengan perabotan, lambang-lambang, simbol, pakaian adat, perlengkapan keamanan, persenjataan dan sejenisnya.

Apabila hal ini terwujud, kita mengusulkan agar di sekitar keraton juga dibangun miniatur atau diorama kisah-kisah perjuangan dan kepahlawanan yang terjadi selama Perang Banjar-Barito dan masa revolusi. Misalnya ketika Pangeran Antasari dan pasukan Datu Muning / Datu Aling menyerang Benteng Oranye Nassau Pengaron, kegiatan ritual pasukan Baratib Baramal, Demang Lehman digantung oleh Belanda, Penghulu Abdul Rasyid dipenggal lehernya oleh temannya yang berkhianat, penyerangan Kapal Onrust di Hulu Sungai Barito hingga Proklamasi ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan pimpinan Hassan Basry.

Miniatur dimaksud mirip dengan yang ada di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya, di mana di situ ada diorama penyiksaan para pahlawan revolusi, sejak diculik dari rumahnya di Jakarta hingga di Lubang Buaya. Jadi peristiwanya bisa saja tersebar di lain tempat, tapi miniaturnya dipusatkan di satu tempat. Hal ini penting agar generasi sekarang dan ke depan dapat lebih menghayati dan menghargai perjuangan para pahlawannya.

Kemudian secara nonfisik perlu dihidupkan adat-istiadat dan seni budaya Banjar, seperti seni tari,  mamanda,  lagu, bahasa, tata cara pergaulan, tradisi dan nilai-nilai yang hidup di era Kesultanan Banjar. Reaktualisasi hal-hal seperti ini juga patut kita dukung karena semua itu sudah semakin luntur di era globalisasi sekarang. Tentu dengan tetap mengindahkan nilai-nilai ajaran agama yang tertanam di masyarakat. Apabila ada tradisi yang tidak sesuai agama, misalnya mengarah kepada syirik, mitos, legenda yang irasional dan mengembangkan tahyul dan khurafat tentu tidak usah kita lestarikan. Hal ini tentunya juga berlaku bagi adat istiadat lainnya yang masih hidup di tengah masyarakat sekarang.

Pelestarian budaya ini perlu melibatkan peran dan kerjasama antara tokoh budaya dan tokoh agama (ulama). Budayawan Kalsel Datu Adjim Arijadi dalam Hari jadi Kota Banjarmasin ke-484 tahun 2011 mengatakan, di Banua Banjar ini berlaku prinsip: “Adat Basandi Syara, dan Syara Basandi Kitabullah”. Relatif sama dengan Minang Sumatra Barat. Jadi antara budaya dengan agama tidak dapat dipisahkan, budaya menjadi subordinat dari agama. Kita harapkan prinsip ini benar adanya.